BERAWAL DARI PERAHU SRI KOMALA SAMPAI PUPUTAN: PERLAWANAN RAKYAT BALI TERHADAP PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA 1906


Ditulis Oleh: M. Rizki Purkon Nazili
(Mahasiswa Pendidikan Sejarah Angkatan 2018)

Abstrak

Perlawanan kerajaan Badung Bali terhadap Belanda yang berlangsung enam hari, dimulai dari tanggal 15 sampai 20 Desember 1906. Peristiwa itu dikenal dengan Puputan. Penyebab utama peristiwa ini berasal dari perahu Sri Komala yang terdampar di pantai Sanur. Belanda menganggap raja Badung harus bertanggungjawab atas peristiwa ini. Perlawanan tersebut di latarbelakangi oleh ambisi politik dan intervensi Belanda untuk menajajah seluruh wilayah Bali. Raja Badung mengatakan lebih baik bertempur daripada menanggung rasa malu terhadap mereka. Keputusan ini memiliki konsekuensi yang sangat masuk akal dari raja Badung dalam munculnya sikap kritis dengan menyikapi situasi kerajaan pada saat itu. Sementara itu, belanda memblokade jalur akses perdagangan kerajaan Badung yang tidak akan membayar kompensasi kepada pemilik perahu Sri Komala karena raja sangat teguh bahwa penduduknya tidak mengambil barang – barang yang terdapat dalam perahu itu. Keunikan perlawanan ini adalah adanya sikap kritis dan metode digolongkan sebagai pilihan terakhir mereka. Pada terakhir Puputan, kerajaan Badung dan Belanda sama – sama mengalami kekalahan.

 

Kata Kunci : Puputan, Perahu Sri Komala, Perlawanan

  

PENDAHULUAN


            Perlawanan yang terjadi di Bali telah terjadi sejak tahun 1846, dan baru berakhir setelah Belanda berhasil menaklukan kerajaan Klungkung pada tahun 1908. Dalam bidang ekonomi dan politik, kontak dengan bangsa Belanda telah mengakibatkan semakin merosotnya kedudukan para penguasa pribumi. Namun demikian Belanda memang memiliki dua alasan sepihak untuk menempatkan pulau Bali dibawah kekuasaannya. Yang pertama adalah perampokan dan perampasan yang dilakukan oleh orang – orang Bali terhadap kapal – kapal yang terdampar dan yang kedua adalah kekhawatiran akan adanya kemungkinan akan kekuatan Eropa lainnya yang akan melakukan itervensi atau menguasai Bali.

            Perjanjian yang di tandatangani pada tanggal 24 Mei 1843 antara pemerintahan Hindia Belanda dengan tujuh kerajaan Bali, yaitu Klungkung, Karangasem, Buleleng, Gianyar, Bangli, Payangan dan Mengwi, antara lain mencantumkan masalah Tawan Karang. Tawan Karang (Undang – Undang Tawan Karang = Klip Recht). Tawan Karang merupakan lembaga hukum adat antar bangsa yang berlaku di Bali dan Lombok, suatu hak yang dimiliki oleh raja dan rakyat untuk merampas kapal atau perahu yang kandas di perairan pantainya. Kapal atau perahu yang terdampar itu hanya boleh ditolong oleh penduduk pantai di wilayah kerajaan itu.

            Belanda menganggap Tawan Karang ini sebagai perintang yang sangat merugikan aktivitas perdagangannya, namun bagi raja – raja Bali peraturan Tawan Karang merupakan undang – undang maritime warisan nenek moyang yang tidak perlu di permasalahkan.

            Perlawanan raja dan rakyat Badung terhadap Belanda yang dikenal dengan istilah Puputan Badung, bermula dari terdamparnya sebuah perahu dagang bernama Sri Komala di daerah Badung pada tahun 1904. Sri Komala adalah sebuah perahu dagang milik orang Cina tetapi berbendera Hindia Belanda. Ada dugaan sebetulnya perahu itu milik perusahaan Belanda yang disewa oleh orang Cina untuk berdagang ke pulau Bali – Lombok atau pulau – pulau lainnya.

            Puputan Badung memang hanya berlangsung selama enam hari yaitu dari tanggal 15 September sampai tanggal 20 September 1906. Namun demikian perang itu menunjukkan bagaimana raja dan rakyat Badung menanggapi situasi colonial dan memberikan interpretasi terhadapnya serta bagaimana sikap yang paling tepat mereka lakukan. Mereka berani mempertahankan jiwa raga melawan musuh demi membela kerajaannya. Meskipun masih dalam lingkup Bali, rasa nasionalisme muncul mulai dari raja hingga seluruh rakyat demi untuk mempertahankan harga diri dan adat istiadat.

            Penyebab utama Puputan Badung adalah ketika pemerintahan Hindia Belanda secara sepihak memaksa raja Pemecutan untuk mengganti kerugian perahu Sri Komala beserta isinya yang terdampar di pantai dalam wilayah Badung. Selama dua tahun dilakukan perundingan – perundingan untuk mencari jalan keluar secara damai, namun tidak berhasil. Raja dan rakyat Badung yang merasa tidak melakukan penjarahan terhadap perahu Sri Komala tentu saja menolak untuk mengganti rugi, sementara pihak Belanda bersikeras menimpakan kesalahan kepada raja dan rakyat dengan ancaman akan memblokade Badung dan Tabaran yang berada dibelakangnya.

            Oleh karena itu, tidak terjadi kesepakatan maka meletuslah Puputan Badung yang dahsyat dan berakibat sangat fatal khusunya bagi Badung dan Tabanan. Kedahsyatan itu terutama karena Puputan Badung bisa dikategorikan perang rakyat. Dalam perang itu seluruh rakyat mendapat bagian baik secara aktif maupun secara pasif. Setiap laki – laki dan wanita bahkan setiap anak – anak ikut menjalankan perannya masing – masing. Peran aktif dilakukan oleh laki – laki yang telah mampu melawan musuh, sementara para wanita dan anak – anak berperan secara pasif di garis belakang.

 

PEMBAHASAN

Sejarah Kerajaan Badung

Kerajaan Badung berada di daerah Bali Selatan dengan letak cukup strategis, karena berada di jalur perdagangan antara Eropa dengan Australia. Kapal – kapal yang berangkat dari Eropa dengan tujuan akhir Australia, biasanya setelah berhasil melewati Tanjung Harapa di Afrika Selatan, kemudian melanjutkan perjalanannya menuju Singapura dan terus ke Batavia. Dari Batavia kapal – kapal itu ke Surabaya atau Besuki dan menuju Ampenan di Lombok melalui Selat Bali dan Selat Lombok. Badung juga dikenal sebagai daerah penghasil beras berkualitas tinggi yang dikirim keluar Bali.

            Pada tahun 1696 Badung yang semula menjadi bagian kerajaan Klungkung, kemudian menjadi kerajaan yang berdiri sendiri. Akan tetapi pada tahun 1700 Badung menjadi bagian kerajaan Mengwi yang muncul sebagai sebuah kerajaan akibat dari semakin lemahnya kerajaan Bali karena adanya pemberontakan. Di Bali, sejumlah perlawanan telah terjadi sejak tahun 1846, yaitu Perang Buleleng tahun 1846, Perang Jagaraya I tahun 1884, Perang Jagaraya II tahun 1849, Perang Kusamba tahun 1849, dan Perang Banjar tahun 1886.

            Meskipun terjadi konflik bersenjata antara Badung dan daerah – daerah disekitarnya, akan tetapi saling hubungan perdagangan diantara mereka yang sudah berlangsung sejak abad ke-17 maih tetap berjalan. Sebagai contoh hubungan perdagangan Badung dengan Gianyar, Tabanan dan Klungkung tetap berjalan dengan baik. Berbagai komoditi yang diperdagangkan antara lain alat – alat rumah tangga, kapas, candu, beras dan pakaian, bahkan budak, senjata dan amunisi.

            Sistem perekonomian kerajaan Badung meliputi cara pengolahan tanah dan pembagian air (subak). Sumber – sumber ekonomi yang yang didapat dan pengelolaan sumber – sumber ekonomi yang berlimpah dari kerajaan Badung dilakukan dengan cara berikut.

1.      Pedagangan budak.

2.      Iuran Negara yang diperoleh dari orang – orang Bugis yang tinggal di sekitar Badung,

3.      Pemungutan pajak tanah, pajak pasar, pajak pelabuhan, dan pajak sabungan ayam.

4.      Bertani, yang dilakukan orang Bali dengan membajak dan mengerjakan sawah sehingga ketika musim panen, mereka menjula beras dan hasil pertanian lainnya kepada pedagang – pedagang dari pulau lain seperti Jawa, Lombok, Sulawesi, Banda yang datang ke Badung.

5.      Beternak sapi, yaitu sapi – sapi Bali yang kualitasnya terkenal sangat bagus sehingga banyak permintaan terhadap sapi – sapi Bali tersebut.

Insiden Perahu Sri Komala hingga Puputan

            Pada tanggal 27 Mei 1904 sebuah perahu dagang terdampar di pantai timur kerajaan Badung. Perahu dagang itu bernama Sri Komala, memakai bendera Belanda dan belayar dari Banjarmasin mengangkut barang dagangan milik orang Cina bernama Kwee Tek Tjiang. Oleh karena kapal itu kandas dan pecah maka para penumpang kapal menurunkan barang itu terdiri dari peti kayu, koper kulit, dan nahkoda minta bantuan kepada Bandar Sanur untuk ikut menjaga keamanan barang – barang yang diturunkan. Atas permintaan pemilik barang maka peristiwa terdamparnya kapal itu dilaporkan kepada raja Badung, I Gusti Gede Ngurah Made Agung.

            Dengan adanya laporan tersebut, raja Badung pergi ke tepi pantai dan memerintahkan kepada Boen Tho, seorang Cina di Sanur untuk membantu mengamankan barang – barang dari kapal itu. Semua barang yang terdiri dari gula pasir, minyak tanah dan terasi diturunkan dari kapal dan diangkut ke darat oleh 11 orang bali yang melakukan tugasnya dengan jujur dan tidak ada yang mencuri.

            Pada tanggal 29 Mei 1904, datang utusan raja Badung ke pantai untuk mengadakan pemeriksaan. Kedatangannya di sambut oleh Kwee Tek Tjiang yang membuat laporan palsu dengan menyatakan bahwa rakyat kerajaan Badung telah mencuri 3700 ringgit uang perak serta 2300 buah uang kepeng. Laporan ini tidak diterima oleh utusan raja karena tidak disertai dengan bukti yang kuat.

            Kwee Tek Tjiang yang merasa tidak puas karena laporannya tidak ditanggapi, menghadap sendiri kepada raja Badung untuk mengadukan kehilangan uangnya itu. Raja Badung menolak pengaduannya karena setelah diadkan pemeriksaan kepada rakyatnya, ternyata tuduhan Kwee Tek Tjiang tidak sesuai. Apalagi rakyat Badung telah dituduh merampas perahu Sri Komala tersebut pada tanggal 27 Mei 1904. Kwee Tek Tjiang kemudian menghadap residen J. Eschbach. Dihadapan residen, raja Badung sudah menyatakan rakyatnya tidak melakukan perampasan dan pencurian seperti yang dituduhkan pemilik kapal, tetapi residen tetap memaksa raja Badung harus mengganti kerugian sebesar 3000 ringgit. Namun raja Badung yang yakin rakyatnya tidak melakukan pencurian menolak membayar ganti rugi walaupun pemerintah Hindia Belanda mengultimatumnya.

            Penolakan raja Badung mengakibatkan pemerintah Hindia Belanda mengirimkan angkatan laut ke perairan Badung untuk melakukan blokade ekonomi di laut. Pemerintah Hinda Belanda bertujuan agar para pedagang yang semula melakukan perdagangan dari dan ke Badung, menghentikan kegiatannya melalui laut. Akibatnya, sejumlah pedagang tidak berani melakukan kegiatan perdagangan.

            Selama blokade itu, ada banyak laporan yang disampaikan kepada raja Badung mengenai kejadian – kejadian pelanggaran yang dilakukan oleh orang kapal juga. Badung juga menderita kerugian atas pajak cukai ekspor yang jumlahnya mencapai 1500 ringgit, yang diberlakukan sejak panutupan Badung. Lebih dari itu, semua biaya yang dikeluarkan untuk membayar kapal – kapal juga sebesar 2173 ringgit dibebankan juga kepada raja Badung harus membayar biaya keseluruhan sebesar 5173 ringgit. Raja Badung yang merasa terhina dan marah tentu saja tidak menerima perlakuan tersebut, oleh karena itu beliau dengan tegas menolak untuk membayar semua ongkos untuk biaya operasional kapal – kapal tersebut.

            Raja Badung tetap menolak maka pemerintahan Hindia Belanda akan mengerahkan pasukannya untuk menyerang Badung dan segala akibat yang akan menimpa rakyatnya merupakan tanggungjawab raja Badung. Oleh karena itu, raja Badung menolak usulan Belanda, yang berarti perundingan mengalami kegagalan, maka perang akan segera terjadi. Demikianlah selanjutnya pemerintah Hindia Belanda mengultimatum Badung dan mengeluarkan surat keputusan memblokade serta mengirimkan ekspedisi militernya ke wilayah Badung.

            Menjelang kedatangan pasukan Belanda, raja Badung mengadakan rapat untuk membulatkan tekad seluruh rakyat untuk menghadapi serangan Belanda yang akan datang. Dalam rapat itu, seluruh rakyat menyatakan kesetiaannya kepada raja dan ikhlas mempertaruhkan jiwa dan raganya untuk menghadapi serangan Belanda. Sebelum bergerak ke medan pertempuran, laskar kerajaan biasanya dikumpulkan di puri sambil menerima perintah dari raja bersamaan dengan pelaksanaan upacara yang dipimpin oleh seorang pendeta. Persembahyangan yang dilakukan pada sebuah pura menunjukan bahwa raja bersama rakyatnya sebagai makhluk cendereng menghubungkan dirinya dengan dzat tertinggi, Hyang Widhi. Dalam melakukan tindakan, rakyat dan raja mohon petunjuk Tuhan sesuai dengan yang digariskan oleh agama Hindu, agama yang dianut oleh mayoritas rakyat kerajaan Badung.

Di pihak Belanda sesuai dengan ultimatum yang ditujukan kepada raja Badung agar menyerahkan diri dalam waktu 1 x 24 jam kepada Belanda dan memberikan tenggang waktu 2 x 24 jam kepada Tabanan, Gubernur Jenderal B. Van Heutzs memerintahkan untuk mengirim ekspedisi militer pada tanggal 12 September 1906. Armada kapal perang yang akan mengangkut pasukan di selat Badung dikumpulkan. Setelah diadakan pengintaian oleh pasukan Belanda dari kapal mariner yang beroperasi di perairan Bali, maka diterima informasi bahwa tempat yang aman dan dianggap cocok sebagai tempat berlabuh untuk kekuatan ekspedisi adalah di Sanur.

            Perang yang berlangsung selama enam hari 15 – 20 September 1906 berakhir dengan Puputan di kerajaan Badung. Keputusan Puputan di ambil raja Badung setelah usai pertempuran di Sanglah, 19 Sepetember 1906. Dari geguritan Bhuwana Winasa didapatkan informasi, malam seusai perang yang merenggut nyawa banyak orang dari pihak Badung itu, raja yang baru berusia 26 tahun itu mengadakan musyawarah dengan para pendeta kerajaan.

            Perang bagi raja sangat boleh jadi bukan laku sia – sia, melainkan justru sebagai suatu pilihan cara untuk mengobarkan wirasa (emosi), yaitu untuk menyulut api semangat keberanian dalam diri untuk membela kebenaran Wirasa pada akhirnya meluapkan semangat, sehingga perang pun bisa dimaknai sebagai suatu kurban persembahan di medan laga. Tidak mengherankan bila sumber – sumber susastra agama Hindu di Bali, seperti kakawin Nitisastra kemudian mengalirkan pemahaman perang di medan laga berbuah kemuliaan, menuai sebutan perwira, dan dipuji – sanjung masyarakat. Sebaliknya, menyerah, apalagi lari dari dari arena pertempuran justru akan menuai makian. Perang bagi raja – raja justru menjadi pemicu kebangkitan gairah surgawi, kerohanian, bukan semata pertempuran, raga dan perebutan kekuasaan. Disana seperti “janji” surgawi atas pilihan terhadap keberanian dan wirasa (emosi) menjadi semangat pembangkit rasa lain, bahkan juga dipilih sebagai jalan “penyucian”.


KESIMPULAN

Puputan Badung menjadi semacam ironi sejarah. Sebuah kemenangan dalam kekalahan. Pada suatu sisi ia meninggalkan luka yang dalam, tetapi pada sisi lain tindakan heroik itu merupakan symbol perlawanan atas kolonialisme. Namun demikian terdapat beberapa pendapat yang lebih menilai dari siss faktanya saja, yaitu bahwa perlawanan dalam Puputan Badung merupakan tindakan bunuh diri, menjemput kekalahan atau kematian tanpa makna.

            Ajaran Puputan mempunyai keyakinan bahwa pelaku tidak boleh mati di rumahnya karena itu tindakan pengecut. Laskar – laskar pengawal raja mempraktekkan ajaran itu ketika menghadapi serangan pasuka Belanda. Mereka membela negerinya dengan hanya bersenjatakan tombak, lari keluar puri menuju medan pertempuran untuk mempertaruhkan jiwa raga mereka dilapangan terbuka.

Perlawanan dalam Puputan Badung yang berlangsung selama enam hari itu tentu saja mebawa akibat atau dampak bagi kerajaan Badung yaitu:

a.       Runtuhnya kerajaan Badung dan kemudian diikuti oleh kerajaan Tabanan.

b.      Aneksasi kerajaan Badung pemerintahan Hindia Belanda.

c.       Munculnya Eropesche Bestuur (pemerintahan Eropa di Badung) yang kedudukannya berada diatas Inlandsche Bestuur (pemerintahan pribumi Badung).


DAFTAR PUSTAKA

Anak agung Gde Agung, Ide. 1999. Bali pada Abad XIX. Yogyakarta: Gjah Mada University Press.

J. C. Van Leur. 1960. Indonesia Trade and Society. Bandung.

Situs Resmi Pemerintah Kabupaten Badung: https//badungkab.go.id/index.php/menu/3/Sejarah.htm

Post a Comment

أحدث أقدم