Abstrak
Perlawanan kerajaan Badung Bali terhadap Belanda yang berlangsung enam
hari, dimulai dari tanggal 15 sampai 20 Desember 1906. Peristiwa itu dikenal
dengan Puputan. Penyebab utama peristiwa ini berasal dari perahu Sri Komala
yang terdampar di pantai Sanur. Belanda menganggap raja Badung harus
bertanggungjawab atas peristiwa ini. Perlawanan tersebut di latarbelakangi oleh
ambisi politik dan intervensi Belanda untuk menajajah seluruh wilayah Bali.
Raja Badung mengatakan lebih baik bertempur daripada menanggung rasa malu
terhadap mereka. Keputusan ini memiliki konsekuensi yang sangat masuk akal dari
raja Badung dalam munculnya sikap kritis dengan menyikapi situasi kerajaan pada
saat itu. Sementara itu, belanda memblokade jalur akses perdagangan kerajaan
Badung yang tidak akan membayar kompensasi kepada pemilik perahu Sri Komala
karena raja sangat teguh bahwa penduduknya tidak mengambil barang – barang yang
terdapat dalam perahu itu. Keunikan perlawanan ini adalah adanya sikap kritis
dan metode digolongkan sebagai pilihan terakhir mereka. Pada terakhir Puputan,
kerajaan Badung dan Belanda sama – sama mengalami kekalahan.
Kata
Kunci
: Puputan, Perahu Sri Komala, Perlawanan
PENDAHULUAN
Perlawanan
yang terjadi di Bali telah terjadi sejak tahun 1846, dan baru berakhir setelah
Belanda berhasil menaklukan kerajaan Klungkung pada tahun 1908. Dalam bidang ekonomi dan politik, kontak dengan bangsa
Belanda telah mengakibatkan semakin merosotnya kedudukan para penguasa pribumi.
Namun demikian Belanda memang memiliki dua alasan sepihak untuk menempatkan
pulau Bali dibawah kekuasaannya. Yang pertama adalah perampokan dan perampasan
yang dilakukan oleh orang – orang Bali terhadap kapal – kapal yang terdampar
dan yang kedua adalah kekhawatiran akan adanya kemungkinan akan kekuatan Eropa
lainnya yang akan melakukan itervensi atau menguasai Bali.
Perjanjian yang di tandatangani pada
tanggal 24 Mei 1843 antara pemerintahan Hindia Belanda dengan tujuh kerajaan
Bali, yaitu Klungkung, Karangasem, Buleleng, Gianyar, Bangli, Payangan dan
Mengwi, antara lain mencantumkan masalah Tawan Karang. Tawan Karang
(Undang – Undang Tawan Karang = Klip Recht). Tawan Karang merupakan
lembaga hukum adat antar bangsa yang berlaku di Bali dan Lombok, suatu hak yang
dimiliki oleh raja dan rakyat untuk merampas kapal atau perahu yang kandas di
perairan pantainya. Kapal atau perahu yang terdampar itu hanya boleh ditolong
oleh penduduk pantai di wilayah kerajaan itu.
Belanda menganggap Tawan Karang ini
sebagai perintang yang sangat merugikan aktivitas perdagangannya, namun bagi
raja – raja Bali peraturan Tawan Karang merupakan undang – undang maritime
warisan nenek moyang yang tidak perlu di permasalahkan.
Perlawanan raja dan rakyat Badung
terhadap Belanda yang dikenal dengan istilah Puputan Badung, bermula dari
terdamparnya sebuah perahu dagang bernama Sri Komala di daerah Badung pada
tahun 1904. Sri Komala adalah sebuah perahu dagang milik orang Cina tetapi
berbendera Hindia Belanda. Ada dugaan sebetulnya perahu itu milik perusahaan
Belanda yang disewa oleh orang Cina untuk berdagang ke pulau Bali – Lombok atau
pulau – pulau lainnya.
Puputan Badung memang hanya
berlangsung selama enam hari yaitu dari tanggal 15 September sampai tanggal 20
September 1906. Namun demikian perang itu menunjukkan bagaimana raja dan rakyat
Badung menanggapi situasi colonial dan memberikan interpretasi terhadapnya
serta bagaimana sikap yang paling tepat mereka lakukan. Mereka berani
mempertahankan jiwa raga melawan musuh demi membela kerajaannya. Meskipun masih
dalam lingkup Bali, rasa nasionalisme muncul mulai dari raja hingga seluruh
rakyat demi untuk mempertahankan harga diri dan adat istiadat.
Penyebab utama Puputan Badung adalah
ketika pemerintahan Hindia Belanda secara sepihak memaksa raja Pemecutan untuk
mengganti kerugian perahu Sri Komala beserta isinya yang terdampar di pantai
dalam wilayah Badung. Selama dua tahun dilakukan perundingan – perundingan
untuk mencari jalan keluar secara damai, namun tidak berhasil. Raja dan rakyat
Badung yang merasa tidak melakukan penjarahan terhadap perahu Sri Komala tentu
saja menolak untuk mengganti rugi, sementara pihak Belanda bersikeras
menimpakan kesalahan kepada raja dan rakyat dengan ancaman akan memblokade
Badung dan Tabaran yang berada dibelakangnya.
Oleh karena itu, tidak terjadi
kesepakatan maka meletuslah Puputan Badung yang dahsyat dan berakibat sangat
fatal khusunya bagi Badung dan Tabanan. Kedahsyatan itu terutama karena Puputan
Badung bisa dikategorikan perang rakyat. Dalam perang itu seluruh rakyat
mendapat bagian baik secara aktif maupun secara pasif. Setiap laki – laki dan
wanita bahkan setiap anak – anak ikut menjalankan perannya masing – masing.
Peran aktif dilakukan oleh laki – laki yang telah mampu melawan musuh,
sementara para wanita dan anak – anak berperan secara pasif di garis belakang.
PEMBAHASAN
Sejarah Kerajaan Badung
Kerajaan Badung berada di daerah Bali Selatan dengan
letak cukup strategis, karena berada di jalur perdagangan antara Eropa dengan
Australia. Kapal – kapal yang berangkat dari Eropa dengan tujuan akhir
Australia, biasanya setelah berhasil melewati Tanjung Harapa di Afrika Selatan,
kemudian melanjutkan perjalanannya menuju Singapura dan terus ke Batavia. Dari
Batavia kapal – kapal itu ke Surabaya atau Besuki dan menuju Ampenan di Lombok
melalui Selat Bali dan Selat Lombok. Badung juga dikenal sebagai daerah
penghasil beras berkualitas tinggi yang dikirim keluar Bali.
Pada tahun 1696 Badung
yang semula menjadi bagian kerajaan Klungkung, kemudian menjadi kerajaan yang
berdiri sendiri. Akan tetapi pada tahun 1700 Badung menjadi bagian kerajaan
Mengwi yang muncul sebagai sebuah kerajaan akibat dari semakin lemahnya
kerajaan Bali karena adanya pemberontakan. Di Bali, sejumlah perlawanan telah
terjadi sejak tahun 1846, yaitu Perang Buleleng tahun 1846, Perang Jagaraya I
tahun 1884, Perang Jagaraya II tahun 1849, Perang Kusamba tahun 1849, dan
Perang Banjar tahun 1886.
Meskipun terjadi konflik
bersenjata antara Badung dan daerah – daerah disekitarnya, akan tetapi saling
hubungan perdagangan diantara mereka yang sudah berlangsung sejak abad ke-17
maih tetap berjalan. Sebagai contoh hubungan perdagangan Badung dengan Gianyar,
Tabanan dan Klungkung tetap berjalan dengan baik. Berbagai komoditi yang
diperdagangkan antara lain alat – alat rumah tangga, kapas, candu, beras dan
pakaian, bahkan budak, senjata dan amunisi.
Sistem perekonomian
kerajaan Badung meliputi cara pengolahan tanah dan pembagian air (subak).
Sumber – sumber ekonomi yang yang didapat dan pengelolaan sumber – sumber
ekonomi yang berlimpah dari kerajaan Badung dilakukan dengan cara berikut.
1.
Pedagangan budak.
2.
Iuran Negara yang diperoleh dari orang – orang Bugis yang tinggal di
sekitar Badung,
3.
Pemungutan pajak tanah, pajak pasar, pajak pelabuhan, dan pajak sabungan
ayam.
4.
Bertani, yang dilakukan orang Bali dengan membajak dan mengerjakan sawah
sehingga ketika musim panen, mereka menjula beras dan hasil pertanian lainnya
kepada pedagang – pedagang dari pulau lain seperti Jawa, Lombok, Sulawesi,
Banda yang datang ke Badung.
5. Beternak sapi, yaitu sapi –
sapi Bali yang kualitasnya terkenal sangat bagus sehingga banyak permintaan
terhadap sapi – sapi Bali tersebut.
Insiden Perahu Sri Komala hingga Puputan
Pada tanggal 27 Mei 1904
sebuah perahu dagang terdampar di pantai timur kerajaan Badung. Perahu dagang
itu bernama Sri Komala, memakai bendera Belanda dan belayar dari Banjarmasin
mengangkut barang dagangan milik orang Cina bernama Kwee Tek Tjiang. Oleh
karena kapal itu kandas dan pecah maka para penumpang kapal menurunkan barang
itu terdiri dari peti kayu, koper kulit, dan nahkoda minta bantuan kepada
Bandar Sanur untuk ikut menjaga keamanan barang – barang yang diturunkan. Atas
permintaan pemilik barang maka peristiwa terdamparnya kapal itu dilaporkan
kepada raja Badung, I Gusti Gede Ngurah Made Agung.
Dengan adanya laporan
tersebut, raja Badung pergi ke tepi pantai dan memerintahkan kepada Boen Tho,
seorang Cina di Sanur untuk membantu mengamankan barang – barang dari kapal
itu. Semua barang yang terdiri dari gula pasir, minyak tanah dan terasi
diturunkan dari kapal dan diangkut ke darat oleh 11 orang bali yang melakukan
tugasnya dengan jujur dan tidak ada yang mencuri.
Pada tanggal 29 Mei
1904, datang utusan raja Badung ke pantai untuk mengadakan pemeriksaan.
Kedatangannya di sambut oleh Kwee Tek Tjiang yang membuat laporan palsu dengan
menyatakan bahwa rakyat kerajaan Badung telah mencuri 3700 ringgit uang perak
serta 2300 buah uang kepeng. Laporan ini tidak diterima oleh utusan raja karena
tidak disertai dengan bukti yang kuat.
Kwee Tek Tjiang yang
merasa tidak puas karena laporannya tidak ditanggapi, menghadap sendiri kepada
raja Badung untuk mengadukan kehilangan uangnya itu. Raja Badung menolak
pengaduannya karena setelah diadkan pemeriksaan kepada rakyatnya, ternyata
tuduhan Kwee Tek Tjiang tidak sesuai. Apalagi rakyat Badung telah dituduh
merampas perahu Sri Komala tersebut pada tanggal 27 Mei 1904. Kwee Tek Tjiang
kemudian menghadap residen J. Eschbach. Dihadapan residen, raja Badung sudah
menyatakan rakyatnya tidak melakukan perampasan dan pencurian seperti yang
dituduhkan pemilik kapal, tetapi residen tetap memaksa raja Badung harus
mengganti kerugian sebesar 3000 ringgit. Namun raja Badung yang yakin rakyatnya
tidak melakukan pencurian menolak membayar ganti rugi walaupun pemerintah
Hindia Belanda mengultimatumnya.
Penolakan raja Badung
mengakibatkan pemerintah Hindia Belanda mengirimkan angkatan laut ke perairan
Badung untuk melakukan blokade ekonomi di laut. Pemerintah Hinda Belanda
bertujuan agar para pedagang yang semula melakukan perdagangan dari dan ke
Badung, menghentikan kegiatannya melalui laut. Akibatnya, sejumlah pedagang
tidak berani melakukan kegiatan perdagangan.
Selama blokade itu, ada
banyak laporan yang disampaikan kepada raja Badung mengenai kejadian – kejadian
pelanggaran yang dilakukan oleh orang kapal juga. Badung juga menderita
kerugian atas pajak cukai ekspor yang jumlahnya mencapai 1500 ringgit, yang
diberlakukan sejak panutupan Badung. Lebih dari itu, semua biaya yang
dikeluarkan untuk membayar kapal – kapal juga sebesar 2173 ringgit dibebankan
juga kepada raja Badung harus membayar biaya keseluruhan sebesar 5173 ringgit.
Raja Badung yang merasa terhina dan marah tentu saja tidak menerima perlakuan
tersebut, oleh karena itu beliau dengan tegas menolak untuk membayar semua
ongkos untuk biaya operasional kapal – kapal tersebut.
Raja Badung tetap
menolak maka pemerintahan Hindia Belanda akan mengerahkan pasukannya untuk
menyerang Badung dan segala akibat yang akan menimpa rakyatnya merupakan
tanggungjawab raja Badung. Oleh karena itu, raja Badung menolak usulan Belanda,
yang berarti perundingan mengalami kegagalan, maka perang akan segera terjadi.
Demikianlah selanjutnya pemerintah Hindia Belanda mengultimatum Badung dan
mengeluarkan surat keputusan memblokade serta mengirimkan ekspedisi militernya
ke wilayah Badung.
Menjelang kedatangan
pasukan Belanda, raja Badung mengadakan rapat untuk membulatkan tekad seluruh
rakyat untuk menghadapi serangan Belanda yang akan datang. Dalam rapat itu,
seluruh rakyat menyatakan kesetiaannya kepada raja dan ikhlas mempertaruhkan jiwa
dan raganya untuk menghadapi serangan Belanda. Sebelum bergerak ke medan
pertempuran, laskar kerajaan biasanya dikumpulkan di puri sambil menerima
perintah dari raja bersamaan dengan pelaksanaan upacara yang dipimpin oleh
seorang pendeta. Persembahyangan yang dilakukan pada sebuah pura menunjukan
bahwa raja bersama rakyatnya sebagai makhluk cendereng menghubungkan dirinya
dengan dzat tertinggi, Hyang Widhi. Dalam melakukan tindakan, rakyat dan raja
mohon petunjuk Tuhan sesuai dengan yang digariskan oleh agama Hindu, agama yang
dianut oleh mayoritas rakyat kerajaan Badung.
Di pihak Belanda sesuai dengan ultimatum yang
ditujukan kepada raja Badung agar menyerahkan diri dalam waktu 1 x 24 jam
kepada Belanda dan memberikan tenggang waktu 2 x 24 jam kepada Tabanan,
Gubernur Jenderal B. Van Heutzs memerintahkan untuk mengirim ekspedisi militer
pada tanggal 12 September 1906. Armada kapal perang yang akan mengangkut
pasukan di selat Badung dikumpulkan. Setelah diadakan pengintaian oleh pasukan
Belanda dari kapal mariner yang beroperasi di perairan Bali, maka diterima
informasi bahwa tempat yang aman dan dianggap cocok sebagai tempat berlabuh
untuk kekuatan ekspedisi adalah di Sanur.
Perang yang berlangsung
selama enam hari 15 – 20 September 1906 berakhir dengan Puputan di kerajaan
Badung. Keputusan Puputan di ambil raja Badung setelah usai pertempuran di
Sanglah, 19 Sepetember 1906. Dari geguritan Bhuwana Winasa didapatkan
informasi, malam seusai perang yang merenggut nyawa banyak orang dari pihak
Badung itu, raja yang baru berusia 26 tahun itu mengadakan musyawarah dengan
para pendeta kerajaan.
Perang bagi raja sangat boleh jadi bukan laku sia – sia, melainkan justru sebagai suatu pilihan cara untuk mengobarkan wirasa (emosi), yaitu untuk menyulut api semangat keberanian dalam diri untuk membela kebenaran Wirasa pada akhirnya meluapkan semangat, sehingga perang pun bisa dimaknai sebagai suatu kurban persembahan di medan laga. Tidak mengherankan bila sumber – sumber susastra agama Hindu di Bali, seperti kakawin Nitisastra kemudian mengalirkan pemahaman perang di medan laga berbuah kemuliaan, menuai sebutan perwira, dan dipuji – sanjung masyarakat. Sebaliknya, menyerah, apalagi lari dari dari arena pertempuran justru akan menuai makian. Perang bagi raja – raja justru menjadi pemicu kebangkitan gairah surgawi, kerohanian, bukan semata pertempuran, raga dan perebutan kekuasaan. Disana seperti “janji” surgawi atas pilihan terhadap keberanian dan wirasa (emosi) menjadi semangat pembangkit rasa lain, bahkan juga dipilih sebagai jalan “penyucian”.
KESIMPULAN
Puputan Badung menjadi semacam ironi sejarah. Sebuah
kemenangan dalam kekalahan. Pada suatu sisi ia meninggalkan luka yang dalam,
tetapi pada sisi lain tindakan heroik itu merupakan symbol perlawanan atas
kolonialisme. Namun demikian terdapat beberapa pendapat yang lebih menilai dari
siss faktanya saja, yaitu bahwa perlawanan dalam Puputan Badung merupakan
tindakan bunuh diri, menjemput kekalahan atau kematian tanpa makna.
Ajaran Puputan mempunyai
keyakinan bahwa pelaku tidak boleh mati di rumahnya karena itu tindakan
pengecut. Laskar – laskar pengawal raja mempraktekkan ajaran itu ketika
menghadapi serangan pasuka Belanda. Mereka membela negerinya dengan hanya
bersenjatakan tombak, lari keluar puri menuju medan pertempuran untuk
mempertaruhkan jiwa raga mereka dilapangan terbuka.
Perlawanan dalam Puputan Badung yang berlangsung selama enam hari itu
tentu saja mebawa akibat atau dampak bagi kerajaan Badung yaitu:
a.
Runtuhnya kerajaan Badung dan kemudian diikuti oleh kerajaan Tabanan.
b.
Aneksasi kerajaan Badung pemerintahan Hindia Belanda.
c.
Munculnya Eropesche Bestuur (pemerintahan Eropa di Badung) yang
kedudukannya berada diatas Inlandsche Bestuur (pemerintahan pribumi
Badung).
DAFTAR PUSTAKA
Anak agung Gde Agung, Ide. 1999.
Bali pada Abad XIX. Yogyakarta: Gjah Mada University Press.
J. C. Van Leur. 1960.
Indonesia Trade and Society. Bandung.
إرسال تعليق