DIPONEGORO DAN PERANGNYA BERSAMA RAKYAT JAWA (1825-1830)

 

Ditulis Oleh : Muhammad Wahyu Adi Nugroho
(Mahasiswa Pendidikan Sejarah Angkatan 2018)


Abstrak                                                         

Tujuan utama dari penulisan ini adalah untuk mengetahui sejarah dari Perang Diponegoro atau biasa disebut dengan Perang Jawa itu sendiri. Alasan perang ini dinamai Perang Diponegoro adalah dimana dalam sejarahnya, Pangeran Diponegoro adalah tokoh sentral dalam perang ini bersama rakyat Jawa. Perang Jawa ini merupakan salah satu perang terbesar sebagai bentuk perlawanan yang pernah ada pada dimasa kedudukan Belanda. Perang Jawa ini berlangsung selama rentang lima tahun (1825-1830). Perlawanan ini diawali ketika bulan Mei 1825, pemerintah Belanda yang awalnya memerintahkan pembangunan jalan dari Yogyakarta ke Magelang lewat Muntilan, mengubah rencananya dan membelokan jalan itu melewati Tegalrejo yang dimana pada salah satu sektor melewati makam leluhur dari Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro tersinggung dengan mencabuti patok-patok yang melewati makam leluhurnya dan menggantinya dengan tombak serta memutuskan untuk mengangkat senjata melawan Belanda. Akhirnya Belanda mempunyai alasan untuk menangkap Pangeran Diponegoro karena dinilai telah memberontak. Perang Diponegoro berlangsung selama 5 tahun, dan berakhir dengan siasat dari pihak belanda yang mengajak Pangeran Belanda untuk berunding, tetapi akhirnya Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Unggaran. Selanjutnya dibuang ke Manado dan pada tanggal 8 Januari 1855 Pangeran Diponegoro wafat dan dimakamkan di Makasar.

Kata Kunci :Perang Jawa, Perlawanan, Belanda, Pangeran Diponegoro.


PENDAHULUAN

Diponegoro, yang diberi nama kanak-kanak Bendoro Raden Mas Muntahar, lahir di Keraton Yogyakarta pada tanggal 11 November 1785, tepat menjelang fajar, saat sahur pada bulan puasa. (Babad Dipanegara, 11:45).

Ayah Diponegoro adalah putra sulung Sultan Hamengku Buwono II (bertahkhta 1792-1810, 1811-1812, 1826-1828), dari istri resmi atau permaisuri Ratu Kedaton (1750-1820). Sejauh mana hubungan kekerabatan Pangeran Diponegoro dengan sang ayah tidak diketahui karena menjelang usia 7 tahun telah diboyong keluar dari wilayah Keputren Keraton untuk tinggal bersama nenek Buyutnya di Tegalrejo, sekitar tiga kilometer arah barat laut keraton. Nenek buyutnya ialah Ratu Ageng, yang dapat dikatakan sosok yang paling berpengaruh sewaktu Diponegoro muda. Ketika Diponegoro masih bayi merah, Ratu Ageng menjadi salah satu pelindungnya setelah pendiri Keraton Yogyakarta meramalkan suatu masa depan yang luar biasa untuk sang bayi. Praktik adopsi (mengangkat anak), atau lebih tepatnya meminjamkan anak, adalah hal yang biasa dilakukan masyarakat jawa (Geertz 1961:36-41). Pangeran Diponegoro pun tumbuh dan berkembang dibawah asuhan buyutnya, yang membuatnya menyumbangkan aspek feminim wataknya, seperti kepekaan, dan intuisi nuraninya.

Selama hidup Pangeran memiliki beberapa orang istri diantaranya Raden Ayu Retno Mangubrongto yang merupakan putri kedua Kiai Gede Dadapan, seseorang ulama terkemuka dekat Tempel. Selanjutnya ada Raden Ajeng Supadmi, yang merupakan putri dari bupati Panolan.

Dalam kelanjutannya, Pangeran menerima ramalan akan runtuhnya Tanah Jawa yang disampaikan di Parangkusumo dan hanya akan terjadi hanya selama tiga tahun kedepan. Hal ini seolah-olah merupakan sebuah petunjuk, karena pada 5 januari 1808, Marsekal Herman Willem Daendels tiba di Batavia untuk memangku jabatan sebagai Gubernur Jendral (Stapel 1941:77).


PEMBAHASAN

Dalam perangnya, banyak orang yang mengetahui bahwa perang rakyat Jawa yang dipimpin oleh Diponegoro berawal dari tersinggungnya Pangeran Diponegoro karena patok-patok yang dibangun sejatinya ke Muntilan, dibelokan ke Tegalrejo yang melewati makan para leluhurnya. Tapi sebelum itu, runtuhnya tanah Jawa sudah dapat diperkirakan jauh-jauh sebelumnya.

 Hal itu bisa dilihat bermula ketika Daendels tiba di Batavia dan memangku jabatan sebagai Gubernur Jendral (Stapel 1941:77). Sebagai ahli hukum, seorang revolusioner, politisi, dan serdadu profesional, Daendels benar-benar merupakan produk baru Eropa yang ditempa oleh Revolusi Prancis. Ia pernah ikut dalam “Revolusi Patriotik” melawan Stadhouder Willem V (1786-7), dan sebagai komandan Legiun Batavia (1793). Sebagai ketua Partai Unitaris yang pro-Prancis ia kemudian membangun reputasi diri sebagai seorang yang berkarakter “kepala batu, sentimental, dan nekad” (Schama 1977:342-3).

Karakter seperti inilah yang menghantarkan Daendels kepada Napoleon, yang kemudian menugaskan satu-satunya marsekal non-Prancis ini untuk mengamankan Jawa sebagai salah satu basis militer Prancis di Lautan Hindia untuk belanda. Daendels pun berencana untuk mengimplementasikan rencananya tentang hubungan dengan pihak keraton, yang salah satunya yaitu mengenai Upacara Seremonial dan Etiket. Dalam hal ini diberitahukan bahwa terdapat perubahan-perubahan dalam tata cara seremonial yang salah satunya yaitu, ketika Residen tidak harus menghentikan kereta kudanya jika berpasan dengan kereta kuda raja di jalan umum (Carey 2008:166). Selain itu, dalam babadnya Diponegoro mengacu pada diskusi-diskusi hangat menyusul diterimanya berita tentang Maklumat Daendels di Yogya. Pangeran secara khusus menyebutkan, susunan tempat duduk baru, dan hak “menteri” (residen) untuk membawa payung berlambang kerajaan menyakitkan hati (Babad Dipanegara, II:50).

 Hal ini menggambarkan bahwa situasi ini sebagai mendudukan residen sama tinggi dengan sultan (Carey 1981:234-5). Meski disinggung sedikit saja, jelas Reformasi Daendels tidak menyenangkan hati Pangeran, dan salah satu tujuan perang adalah megembalikan Jawa kepada keadaan sebelum reformasi Daendels, Juli 1808.  Dari perubahan mendasar inilah keruntuhan jawa akan terjadi, dan Daendels hanyalah sebuah awal.

Selanjutnya, serbuan Inggris ke keraton Yogya, 19-20 Juni 1812. Pada 17 Juni, Rafles tiba di Yogya. Dua hari kemudian semua detasemen Inggris, termasuk 500 anggota legiun pangeran Prangwedono yang berada di bawah komando pribadi Pangeran, berada di benteng.

Pada hari penyergapan Sindurejo (18 Juni), Raffles mengutus penerjemah Karisidenan untuk mengultimatum sultan yaitu jika tidak menyerahkan takhta dalam dua jam kepada putra mahkota, maka Inggris akan membobardir keraton dengan meriam. Putra mahkota dengan tegas menolak, dan ditulis sebuah surat yang tegas menjelaskan isi penolakannya. Pemboman meriam artileri Inggris dimulai pada sore harinya hingga malam. (Carey 2008:335).

Penyerangan pun dimulai, keberanian sultan yang tadinya tidak merasa terancam pun segera sirna ketika badai serangan Inggris sebenarnya pada hari berikutnya 20 Juni. Hal ini pun ternyata sama seperti pemimpin yang lainnya, dimana kebanyakan pangeran yang harusnya memimpin pertempuran, ketika datang hujan meriam Inggris hanya bisa menggigil ketakutan di pintu tempat perlindungan. Tempat-tempat pun mulai dikuasai, dari pertahanan keraton, kedaton, sampai alun-alun selatan dikuasai oleh Inggris.

Dalam Babad jatuhnya Yogyakarta, melukiskan Raffles dengan puas hanya segelintir pangeran yang turun dari kursi untuk memberikan penghormatan kepada Sultan, sesuai yang diisyaratkan Raffles untuk tetap duduk.  Dalam linangan air mata, sultan dipaksa menyerahkan keris dan perhiasan emas yang dikenakan (Carey 1992:86, 236). Pedang dan belati Sultan dikirim oleh Raffles ke Lord Minto sebagai simbol “penyerahan sepenuhnya” Keraton Yogya kepada Inggris. Kancing berlian dicopot dengan kasar, dan Ramalan Parangkusumo tergenapi sudah.

Setelah kejadian tersebut, munculah sebuah era baru pemerintahan Inggris yang dimana Yogyakarta menjadi tempat kekuasaan Inggris di Jawa. Terdapat peristiwa besar seperti Penjarahan besar-besaran di Keraton Yogyakarta yang dilakukan habis-habisan selama 4 hari penuh yang diangkut dengan pedati dan kuli panggul ke kediaman residen.

Dan akhirnya, sampailah pada perang Rakyat Jawa yang melibatkan tidak hanya pria, namun juga peran kaum wanita dalam konflik tersebut, dan terdapat hubungan dengan santri.

Begitu Diponegoro dan Mangkubumi datang ke Selarong, para petani penyewa dan penggarap telah siap dimobilisasi, dan sebelum tiga bulan penyerangan Belanda atas Tegalrejo, Pangeran mulai membebaskan Pajak Puwasa dan mengumpulkan dana untuk perang.

Dana perang yang didapat dari sumber tradisional seperti para pangeran dan priayi Yoya yang menyumbang emas permata, uang, dan barang berharga lainnya. Banyak pengikut Pangeran Diponegoro yang siap berperang, dengan mempersenjatai diri dengan Katapel, gada, dan juga tombak yang terbuat dari bambu yang diruncingkan alias bambu runcing. Senjata yang paling sering digunakan ialah keris dengan mengikatnya kepada sebuah bambu. Mereka datang ke Selarong untuk mendapatkan perintah dari Pangeran.

Pasukan Pangeran sangat mahir dalam melakukan penghadangan dan penyergapan, yang sesuai dengan gaya perang Pangeran, dimana tujuan utama untuk mencegah kedatangan bala bantuan Belanda dengan menebang pohon, dan memblokade jalan. Taktik yang paling digemari adalah bersembunyi direrumputan tinggi  disisi jalan yang akan dilewati musuh lalu menembak dalam formasi lingkaran, yakni prajurit bersembunyi dalam posisi tiarap menembakan bedil mereka langsung kearah musuhyang disergap dari depan dan dari kedua sayap. Keberhasilan ini pun mengundang banyak penduduk desa untuk ikut bergabung.

Kaum perempuan pun ikut tercatat dalam tinta sejarah, yaitu Nyi Ageng Serang dan Raden Ayu Yudokusumo, dimana perempuan yang disebutkan pertama pernah memimpin pasukan berkekuatan 500 orang didaerah Serang-Demak, dikala putranya, Pangeran Serang II menyerang posisi Belanda di Pantai Utara, bulan Agustus-September 1825. Setelah itu ia bergabung dengan pasukan Raden Sosrodilogo di Jipang-Rajegwesi antara November 1827 dan Maret 1828. Dan ketika menyerah, dicatat bahwa bersama dengan sisa keluarganya yang lain rela mencukur habis rambutnya sebagai tanda kesetiaannya dalam perang suci tersebut.

Selain dua golongan tersebut, golongan agama, atau disebut sebagai kaum santri juga membantu perang ini. Sumber Jawa dan Belanda yang ada ditemukan sebuah daftar nama sekitar 200 laki-laki dan perempuan santri yang bergabung dengan Diponegoro. (Carey 2008:786-94).

Status Diponegoro dimata pendukungnya yang makin terangkat lantaran Perang Jawa tak ubahnya seperti perang agama terhadap “orang kafir”.

Golongan tersebut membantu Diponegoro dalam Perang Rakyat Jawa yang sedang berlangsung. Belanda dibuat bingung dengan hakikat Perang Jawa itu sendiri, dan taktik yang diterapkan tidak sesuai, dimana para prajurit Diponegoro gigih dalam berperang.

Perlawanan yang dilakukan Diponegoro pun akhirnya tidak hanya mengalami masa keemasannya, tetapi masa redupnya, sekaligus hampir tertangkap pada 11 November, dan hampir selama 3 bulan Diponegoro berjuang nyaris seorang diri, yang menjadikannya terasa lenyap ditelan bumi. Berjuang seorang diri dalam hutan sampai terkena penyakit Malaria Tropika.  Dalam perang ini, Diponegoro pada akhirnya terdesak, bahkan akhirnya tertipu oleh tipu muslihat dari De Kock yang mengajak untuk melakukan perundingan, namun akhirnya ditangkap dan diasingkan.


KESIMPULAN

             Diponegoro, yang diberi nama kanak-kanak Bendoro Raden Mas Muntahar, lahir di Keraton Yogyakarta pada tanggal 11 November 1785, tepat menjelang fajar, saat sahur pada bulan puasa, yang merupakan anak dari Sultan Hamengkubuwono II, yang nantinya akan memimpin sebuah perang, perang suci, perang Jawa, yang lebih sering disebut sebagai Perang Diponegoro.

Perang ini terdiri tidak hanya dari satu sebab, tetapi telah diramalkan sejak dahulu, dan kenyataan tersebut pasti terjadi. Keruntuhan Jawa itu dimulai dari kedatangan Marsekal Herman Willem Daendels yang berusaha untuk mengubah seremonial dan etiket di Jawa, yang lantas membuat Pangeran Diponegoro tersinggung. Dari sana Pangeran ingin berperang untuk mengembalikan masa tanpa adanya transformasi perubahan yang dilakukan oleh Daendels.

Setelah itu, penyerangan Yogyakarta oleh Inggris yang membuat banyak sultan dipaksa menyerahkan perhiasan dan dikirim ke Lord Minto sebagai tanda bahwa Yogyakarta menyerah secara penuh.

Pada akhirnya, perang Jawa tersebut meletus dan melibatkan banyak pihak mulai dari rakyat jawa itu sendiri, kaum wanita dan kaum santri yang terdapat peranannya masing masing.

Masa perlawanan yang dilakukan melalui pasang dan surut, yang akhirnya, dengan tipu muslihat De Kock untuk melakukan perundingan dan akhirnya menangkap Pangeran Diponegoro dan diasingkan.


DAFTAR PUSTAKA

Babad Dipanegara. 2010. Babad Dipanegara; 4 Jilid, Peny. Nindya Noegraha. Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.

Carey, Peter. 1981. Babad Dipanegara; An Account of the Outbreak of the Java War (1825-30); The Surakarta Court Version of the Babad Dipanegara with Translations into English and Indonesian Malay. Kuala Lumpur: Art Printers.

Carey, Peter. 1992. The British in Java. 1811-1816. A Javanese Account. Oxford: Oxford University Press.

Carey, Peter. 2008. The Power of Prohecy; Prince Dipanegara and the End of an Old Order in Java. 1785-1855. Leiden: KITLV Press.

Geertz, Hildred. 1961. Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti Pers

Schama, Simon. 1977. Patriots and Liberators; Revolution in the Netherlands. 1780-1813. London. Collins.

Post a Comment

أحدث أقدم