Abstrak
Tujuan
utama dari penulisan ini adalah untuk mengetahui sejarah dari Perang Diponegoro
atau biasa disebut dengan Perang Jawa itu sendiri. Alasan perang ini dinamai
Perang Diponegoro adalah dimana dalam sejarahnya, Pangeran Diponegoro adalah
tokoh sentral dalam perang ini bersama rakyat Jawa. Perang Jawa ini merupakan
salah satu perang terbesar sebagai bentuk perlawanan yang pernah ada pada
dimasa kedudukan Belanda. Perang Jawa ini berlangsung selama rentang lima tahun
(1825-1830). Perlawanan ini diawali ketika bulan Mei 1825, pemerintah Belanda
yang awalnya memerintahkan pembangunan jalan dari Yogyakarta ke Magelang lewat
Muntilan, mengubah rencananya dan membelokan jalan itu
melewati Tegalrejo yang dimana pada salah satu sektor melewati makam leluhur
dari Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro tersinggung dengan mencabuti
patok-patok yang melewati makam leluhurnya dan menggantinya dengan tombak serta
memutuskan untuk mengangkat senjata melawan Belanda. Akhirnya Belanda mempunyai
alasan untuk menangkap Pangeran Diponegoro karena dinilai telah memberontak.
Perang Diponegoro berlangsung selama 5 tahun, dan berakhir dengan siasat dari
pihak belanda yang mengajak Pangeran Belanda untuk berunding, tetapi akhirnya
Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Unggaran. Selanjutnya dibuang
ke Manado dan pada tanggal 8 Januari 1855 Pangeran Diponegoro wafat dan
dimakamkan di Makasar.
Kata Kunci :Perang
Jawa, Perlawanan,
Belanda, Pangeran Diponegoro.
PENDAHULUAN
Diponegoro, yang
diberi nama kanak-kanak Bendoro Raden Mas Muntahar, lahir di Keraton Yogyakarta
pada tanggal 11 November 1785, tepat menjelang fajar, saat sahur pada bulan
puasa. (Babad Dipanegara, 11:45).
Ayah Diponegoro
adalah putra sulung Sultan Hamengku Buwono II (bertahkhta 1792-1810, 1811-1812,
1826-1828), dari istri resmi atau permaisuri Ratu Kedaton (1750-1820). Sejauh
mana hubungan kekerabatan Pangeran Diponegoro dengan sang ayah tidak diketahui
karena menjelang usia 7 tahun telah diboyong keluar dari wilayah Keputren
Keraton untuk tinggal bersama nenek Buyutnya di Tegalrejo, sekitar tiga
kilometer arah barat laut keraton. Nenek buyutnya ialah Ratu Ageng, yang dapat
dikatakan sosok yang paling berpengaruh sewaktu Diponegoro muda. Ketika
Diponegoro masih bayi merah, Ratu Ageng menjadi salah satu pelindungnya setelah
pendiri Keraton Yogyakarta meramalkan suatu masa depan yang luar biasa untuk
sang bayi. Praktik adopsi (mengangkat anak), atau lebih tepatnya meminjamkan
anak, adalah hal yang biasa dilakukan masyarakat jawa (Geertz 1961:36-41).
Pangeran Diponegoro pun tumbuh dan berkembang dibawah asuhan buyutnya, yang
membuatnya menyumbangkan aspek feminim wataknya, seperti kepekaan, dan intuisi
nuraninya.
Selama hidup Pangeran
memiliki beberapa orang istri diantaranya Raden Ayu Retno Mangubrongto yang
merupakan putri kedua Kiai Gede Dadapan, seseorang ulama terkemuka dekat
Tempel. Selanjutnya ada Raden Ajeng Supadmi, yang merupakan putri dari bupati
Panolan.
Dalam kelanjutannya,
Pangeran menerima ramalan akan runtuhnya Tanah Jawa yang disampaikan di
Parangkusumo dan hanya akan terjadi hanya selama tiga tahun kedepan. Hal ini
seolah-olah merupakan sebuah petunjuk, karena pada 5 januari 1808, Marsekal
Herman Willem Daendels tiba di Batavia untuk memangku jabatan sebagai Gubernur
Jendral (Stapel 1941:77).
PEMBAHASAN
Dalam perangnya,
banyak orang yang mengetahui bahwa perang rakyat Jawa yang dipimpin oleh
Diponegoro berawal dari tersinggungnya Pangeran Diponegoro karena patok-patok
yang dibangun sejatinya ke Muntilan, dibelokan ke Tegalrejo yang melewati makan
para leluhurnya. Tapi sebelum itu, runtuhnya tanah Jawa sudah dapat
diperkirakan jauh-jauh sebelumnya.
Hal itu bisa dilihat
bermula ketika Daendels tiba di Batavia dan memangku jabatan sebagai Gubernur
Jendral (Stapel 1941:77). Sebagai ahli hukum, seorang revolusioner, politisi,
dan serdadu profesional, Daendels benar-benar merupakan produk baru Eropa yang ditempa
oleh Revolusi Prancis. Ia pernah ikut dalam “Revolusi Patriotik” melawan
Stadhouder Willem V (1786-7), dan sebagai komandan Legiun Batavia (1793).
Sebagai ketua Partai Unitaris yang pro-Prancis ia kemudian membangun reputasi
diri sebagai seorang yang berkarakter “kepala batu, sentimental, dan nekad”
(Schama 1977:342-3).
Karakter seperti
inilah yang menghantarkan Daendels kepada Napoleon, yang kemudian menugaskan
satu-satunya marsekal non-Prancis ini untuk mengamankan Jawa sebagai salah satu
basis militer Prancis di Lautan Hindia untuk belanda. Daendels pun berencana
untuk mengimplementasikan rencananya tentang hubungan dengan pihak keraton,
yang salah satunya yaitu mengenai Upacara Seremonial dan Etiket. Dalam hal ini
diberitahukan bahwa terdapat perubahan-perubahan dalam tata cara seremonial
yang salah satunya yaitu, ketika Residen tidak harus menghentikan kereta
kudanya jika berpasan dengan kereta kuda raja di jalan umum (Carey 2008:166).
Selain itu, dalam babadnya Diponegoro mengacu pada diskusi-diskusi hangat
menyusul diterimanya berita tentang Maklumat Daendels di Yogya. Pangeran secara
khusus menyebutkan, susunan tempat duduk baru, dan hak “menteri” (residen)
untuk membawa payung berlambang kerajaan menyakitkan hati (Babad Dipanegara,
II:50).
Hal ini menggambarkan bahwa situasi ini
sebagai mendudukan residen sama tinggi dengan sultan (Carey 1981:234-5). Meski
disinggung sedikit saja, jelas Reformasi Daendels tidak menyenangkan hati
Pangeran, dan salah satu tujuan perang adalah megembalikan Jawa kepada keadaan
sebelum reformasi Daendels, Juli 1808.
Dari perubahan mendasar inilah keruntuhan jawa akan terjadi, dan
Daendels hanyalah sebuah awal.
Selanjutnya, serbuan
Inggris ke keraton Yogya, 19-20 Juni 1812. Pada 17 Juni, Rafles tiba di Yogya.
Dua hari kemudian semua detasemen Inggris, termasuk 500 anggota legiun pangeran
Prangwedono yang berada di bawah komando pribadi Pangeran, berada di benteng.
Pada hari penyergapan
Sindurejo (18 Juni), Raffles mengutus penerjemah Karisidenan untuk
mengultimatum sultan yaitu jika tidak menyerahkan takhta dalam dua jam kepada
putra mahkota, maka Inggris akan membobardir keraton dengan meriam. Putra
mahkota dengan tegas menolak, dan ditulis sebuah surat yang tegas menjelaskan
isi penolakannya. Pemboman meriam artileri Inggris dimulai pada sore harinya
hingga malam. (Carey 2008:335).
Penyerangan pun
dimulai, keberanian sultan yang tadinya tidak merasa terancam pun segera sirna
ketika badai serangan Inggris sebenarnya pada hari berikutnya 20 Juni. Hal ini
pun ternyata sama seperti pemimpin yang lainnya, dimana kebanyakan pangeran
yang harusnya memimpin pertempuran, ketika datang hujan meriam Inggris hanya
bisa menggigil ketakutan di pintu tempat perlindungan. Tempat-tempat pun mulai
dikuasai, dari pertahanan keraton, kedaton, sampai alun-alun selatan dikuasai
oleh Inggris.
Dalam Babad jatuhnya
Yogyakarta, melukiskan Raffles dengan puas hanya segelintir pangeran yang turun
dari kursi untuk memberikan penghormatan kepada Sultan, sesuai yang
diisyaratkan Raffles untuk tetap duduk.
Dalam linangan air mata, sultan dipaksa menyerahkan keris dan perhiasan
emas yang dikenakan (Carey 1992:86, 236). Pedang dan belati Sultan dikirim oleh
Raffles ke Lord Minto sebagai simbol “penyerahan sepenuhnya” Keraton Yogya
kepada Inggris. Kancing berlian dicopot dengan kasar, dan Ramalan Parangkusumo
tergenapi sudah.
Setelah kejadian
tersebut, munculah sebuah era baru pemerintahan Inggris yang dimana Yogyakarta
menjadi tempat kekuasaan Inggris di Jawa. Terdapat peristiwa besar seperti
Penjarahan besar-besaran di Keraton Yogyakarta yang dilakukan habis-habisan
selama 4 hari penuh yang diangkut dengan pedati dan kuli panggul ke kediaman
residen.
Dan akhirnya,
sampailah pada perang Rakyat Jawa yang melibatkan tidak hanya pria, namun juga
peran kaum wanita dalam konflik tersebut, dan terdapat hubungan dengan santri.
Begitu Diponegoro dan
Mangkubumi datang ke Selarong, para petani penyewa dan penggarap telah siap
dimobilisasi, dan sebelum tiga bulan penyerangan Belanda atas Tegalrejo,
Pangeran mulai membebaskan Pajak Puwasa dan
mengumpulkan dana untuk perang.
Dana perang yang
didapat dari sumber tradisional seperti para pangeran dan priayi Yoya yang
menyumbang emas permata, uang, dan barang berharga lainnya. Banyak pengikut
Pangeran Diponegoro yang siap berperang, dengan mempersenjatai diri dengan
Katapel, gada, dan juga tombak yang terbuat dari bambu yang diruncingkan alias
bambu runcing. Senjata yang paling sering digunakan ialah keris dengan
mengikatnya kepada sebuah bambu. Mereka datang ke Selarong untuk mendapatkan
perintah dari Pangeran.
Pasukan Pangeran sangat
mahir dalam melakukan penghadangan dan penyergapan, yang sesuai dengan gaya
perang Pangeran, dimana tujuan utama untuk mencegah kedatangan bala bantuan
Belanda dengan menebang pohon, dan memblokade jalan. Taktik yang paling
digemari adalah bersembunyi direrumputan tinggi
disisi jalan yang akan dilewati musuh lalu menembak dalam formasi
lingkaran, yakni prajurit bersembunyi dalam posisi tiarap menembakan bedil
mereka langsung kearah musuhyang disergap dari depan dan dari kedua sayap.
Keberhasilan ini pun mengundang banyak penduduk desa untuk ikut bergabung.
Kaum perempuan pun
ikut tercatat dalam tinta sejarah, yaitu Nyi Ageng Serang dan Raden Ayu
Yudokusumo, dimana perempuan yang disebutkan pertama pernah memimpin pasukan
berkekuatan 500 orang didaerah Serang-Demak, dikala putranya, Pangeran Serang
II menyerang posisi Belanda di Pantai Utara, bulan Agustus-September 1825.
Setelah itu ia bergabung dengan pasukan Raden Sosrodilogo di Jipang-Rajegwesi
antara November 1827 dan Maret 1828. Dan ketika menyerah, dicatat bahwa bersama
dengan sisa keluarganya yang lain rela mencukur habis rambutnya sebagai tanda
kesetiaannya dalam perang suci tersebut.
Selain dua golongan
tersebut, golongan agama, atau disebut sebagai kaum santri juga membantu perang
ini. Sumber Jawa dan Belanda yang ada ditemukan sebuah daftar nama sekitar 200
laki-laki dan perempuan santri yang bergabung dengan Diponegoro. (Carey
2008:786-94).
Status Diponegoro
dimata pendukungnya yang makin terangkat lantaran Perang Jawa tak ubahnya
seperti perang agama terhadap “orang kafir”.
Golongan tersebut
membantu Diponegoro dalam Perang Rakyat Jawa yang sedang berlangsung. Belanda
dibuat bingung dengan hakikat Perang Jawa itu sendiri, dan taktik yang
diterapkan tidak sesuai, dimana para prajurit Diponegoro gigih dalam berperang.
Perlawanan yang
dilakukan Diponegoro pun akhirnya tidak hanya mengalami masa keemasannya,
tetapi masa redupnya, sekaligus hampir tertangkap pada 11 November, dan hampir
selama 3 bulan Diponegoro berjuang nyaris seorang diri, yang menjadikannya
terasa lenyap ditelan bumi. Berjuang seorang diri dalam hutan sampai terkena
penyakit Malaria Tropika. Dalam perang
ini, Diponegoro pada akhirnya terdesak, bahkan akhirnya tertipu oleh tipu
muslihat dari De Kock yang mengajak untuk melakukan perundingan, namun akhirnya
ditangkap dan diasingkan.
KESIMPULAN
Diponegoro, yang diberi nama kanak-kanak Bendoro
Raden Mas Muntahar, lahir di Keraton Yogyakarta pada tanggal 11 November 1785,
tepat menjelang fajar, saat sahur pada bulan puasa, yang merupakan anak dari
Sultan Hamengkubuwono II, yang nantinya akan memimpin sebuah perang, perang
suci, perang Jawa, yang lebih sering disebut sebagai Perang Diponegoro.
Perang ini terdiri
tidak hanya dari satu sebab, tetapi telah diramalkan sejak dahulu, dan kenyataan
tersebut pasti terjadi. Keruntuhan Jawa itu dimulai dari kedatangan Marsekal
Herman Willem Daendels yang berusaha untuk mengubah seremonial dan etiket di
Jawa, yang lantas membuat Pangeran Diponegoro tersinggung. Dari sana Pangeran
ingin berperang untuk mengembalikan masa tanpa adanya transformasi perubahan
yang dilakukan oleh Daendels.
Setelah itu,
penyerangan Yogyakarta oleh Inggris yang membuat banyak sultan dipaksa
menyerahkan perhiasan dan dikirim ke Lord Minto sebagai tanda bahwa Yogyakarta
menyerah secara penuh.
Pada akhirnya, perang
Jawa tersebut meletus dan melibatkan banyak pihak mulai dari rakyat jawa itu
sendiri, kaum wanita dan kaum santri yang terdapat peranannya masing masing.
Masa perlawanan yang
dilakukan melalui pasang dan surut, yang akhirnya, dengan tipu muslihat De Kock
untuk melakukan perundingan dan akhirnya menangkap Pangeran Diponegoro dan
diasingkan.
DAFTAR PUSTAKA
Babad Dipanegara. 2010. Babad Dipanegara; 4 Jilid, Peny. Nindya Noegraha. Jakarta:
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Carey, Peter. 1981. Babad Dipanegara; An Account of the Outbreak of the Java War (1825-30);
The Surakarta Court Version of the Babad Dipanegara with Translations into
English and Indonesian Malay. Kuala Lumpur: Art Printers.
Carey, Peter. 1992. The British in Java. 1811-1816. A Javanese Account. Oxford: Oxford
University Press.
Carey, Peter. 2008. The Power of Prohecy; Prince Dipanegara and the End of an Old Order in
Java. 1785-1855. Leiden: KITLV Press.
Geertz, Hildred. 1961. Keluarga Jawa. Jakarta:
Grafiti Pers
Schama, Simon. 1977. Patriots and Liberators; Revolution in the Netherlands. 1780-1813.
London. Collins.

إرسال تعليق