H. Sanusi Sesepuh dan Sang Maestro Seni Tradisi Bidang Pencak Silat Pusaka Djakarta

 


Ditulis Oleh : Muhammad Ibnu Fadillah
(Mahasiswa Pendidikan Sejarah Angkatan 2019)


Pencak silat Betawi bukan hanya sekedar perpaduan budaya, etnis, adat, agama, suku, dan lainnya antara China, Arab, Belanda dan lainnya, pencak silat adalah kegeniusan lokal yang terus mewarnai Jakarta walau terkisis oleh zaman.

Usia terus bertambah, tetapi postur pria bernama H Sanusi itu tetap tegak dan penampilannya jauh lebih muda ketimbang umurnya, 92 tahun. Pendekar Silat asal Sawah Besar, Jakarta, ini tetap aktif, tak punya penyakit serius, dan tidak berpantang makan apa pun. Bahkan, beragam keluhan yang sering menimpa warga senior, seperti kolestrol tinggi, hipertensi, asam urat, dan gula darah tinggi, pun jauh dari dirinya. Dia tak punya pantangan makan apa pun.

“Sejak muda, saya hanya makan sekali sehari. Saya hanya makan siang sekitar pukul 14.00” kata pria yang akrab dipanggil Babe Uci ini dirumahnya di Manggarai Selatan, Jakarta Selatan.

Hanya ketika dia merasa sangat lapar dan harus pergi makan, dia makan dua keeping biscuit sebagai pengganjal perut. Kebiasaan itu bermula ketika Babe Uci tinggal di pesantren di Tasikmalaya, Jawa Barat, saat usianya 15 tahun. Disana para santri membiasakan diri makan secukupnya dan seadanya. Mereka tak pernah berlebihan dan selalu makan bersama. Menurut Sang guru, makan banyak akan menutupi hati.

“Betul ajaran beliau, banyak makan bukan hanya membuat hati tertutup lemak, melainkan juga membuat orang menjadi tamak, serakah, dan rela berbuat apa saja demi memuaskan nafsu” kata Babe Uci. Dia mampu mendisiplinkan diri karena berlatih pencak silat sejak usia 12 tahun di Sawah Besar, Jakarta.

Babe Uci bersemangat menunjukkan jurus dasar silat gerak cepat ala Perguruan Silat Pusaka Djakarta di Kampung Bali Matraman, Manggarai Selatan, Jakarta Selatan, Kamis (6/2/2020). Dengan pakaian pangsi berwarna hitam dan sabuk putih, ia berpose di gang rumahnya.

Berkat kemampuan dan kegigihannya melestarikan silat Betawi, Sanusi (92) atau akrab disapa Babe Uci dinobatkan sebagai Maestro Seni Tradisi Bidang Pencak Silat. Tidak tanggung-tanggung penghargaan ini berhasil diraihnya dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Republik Indonesia pada tahun 2014 lalu.

"Waktu itu guru saya bernama Musari. Latihan pencak silat dimulai usai mengaji, begitu setiap malamnya. Baru di usia 17 tahun saya mengajar," tuturnya, belum lama ini.

Anak pertama dari enam bersaudara ini ingat, sang guru silat tak sembarangan melatih dan tak semua anak terpilih ikut latihan. Hanya mereka yang rajin shalat dan mengaji yang boleh ikut berlatih. Dulu, mereka biasa berlatih setelah shalat isya dan mengaji. Mereka berlatih dari pukul 20.00 hingga dini hari dibimbing sang pelatih, yaitu Mursadi bin Ramidun.

“Pukul 02.00, kami baru selesai berlatih dan pulang sembari membawa obor sebagai penerang jalan,” kata Babe Uci.

Ia mengenang, kala itu kawasan Sawah Besar berupa kampong dengan kebun penuh pepohonan dan tanpa listrik. Dia menjelaskan, mereka yang belajar pencak silat harus harus rajin Shalat dan mengaji karena harus pandai meredam keinginan berkelahi yang sering timbul ketika orang belajar bela diri. Sebagai pesilat, mereka harus lebih pandai menahan diri karena bisa silat bukan untuk pamer diri. Sang guru juga sering membawa Uci kecil berkeliling ke perguruan silat disejumlah daerah. Tidak hanya menyambangi kampung-kampung di seputar Jakarta, seperti Kwitang, Rawa Belong, Menteng Dalam, dan Pasar Minggu, tetapi mereka juga ke kota lain seperti Bekasi, Banten, Bogor, dan Garut.

Selain mempelajari aliran gerak silat lain, tujuan berkeliling juga untuk menjaga dan menjalin silaturahmi dengan para guru lain. Hal yang paling istimewa di Jakarta, setiap kampung memiliki aliran silat sendiri. Tak kurang dari 315 aliran silat dikenal dari Jakarta. Babe Uci menguasai tujuh aliran.

“Saya tak tahu mengapa begitu banyak aliran (silat) di Jakarta. Begitulah adanya. Perbedaan aliran ini terlihat jelas dalam pertarungan karena setiap aliran punya gaya dan gerak berbeda,” ujar dia.

Menjadi Guru Karier mengajar Babe Uci berawal di Pesantren. Saat itu, dia berusia 17 tahun atau dua tahun setelah mulai menuntut ilmu di tempat tersebut. dia prihatin melihat banyak kawan yang bengong kala senggang dan tak punya kegiatan lain setelah pelajaran usai dan semua kewajiban dilaksanakan. Dia lalu menawarkan diri mengajar silat dan semua temannya antusias. Kegiatan mengajar silat itu dia lakukan tanpa sepengetahuan guru di Pesantren. Mereka diam-diam berlatih pada malam hari.

“Ketika kami lulus, tak hanya ilmu agama yang kami dapat. Kami semua pandai silat dan guru-guru pun bingung dari mana kami belajar silat dan kapan menekuninya. Saya diam saja, tak membocorkan rahasia bersama” kata Babe Uci yang menuntut ilmu di Pesantran selama 10 tahun. Babe Uci mendirikan perguruan Silat Pusaka Djakarta yang beraliran gerak cepat pada 1957.

Sang koreografer Film Laga Kesuksesan membuka pasar film laga berbasis silat. Bahkan, karena proses akhir film itu bertempat di Hongkong, para pembuat film di negeri itupun tertarik membuat film laga dengan aksi ilmu bela diri. “ketika itu, sinemas Hongkong masih sibuk membuat film tentang kerajaan kuno. Tak ada yang bergenre film laga seperti sekarang." ujar dia tentang film yang pengambilan gambarnya bertempat di Sukabumi, Jawa Barat, itu.

Babe Uci bangga dengan kesuksesan Djampang Mentjari Naga Hitam. Namun, dia prihatin karena Hongkong yang semula meniru langkah Indonesia membuat film laga malah lebih terkenal sebagai salah satu negeri produsen film laga. Meski dia yang mendapat tawaran menjadi koreografer silat di film, Babe Uci tak pernah kerja sendiri. Dia mengajak para guru silat andal yang lain ikut merancang gerakan adegan perkelahian. Bersama-sama mereka menyusun, menilai, dan memilih gerakan untuk film. Sejak film itu, Babe Uci pun terlibat dalam sejumlah film laga lain, diantaranya Si pitung 1 hingga Si Pitung 4, Si Bongkok, Laki-laki Pilihan, Panji Tengkorak, Selimut Malam, Sangkuriang, Tangkuban perahu, dan Nyai Dasimah. Total ada 28 film.

Menurut babe Uci, motivasi utamanya bekerja sebagai pengatur laga sebenarnya adalah untuk bisa memasyarakatkan pencak silat. Bela diri-bela diri lainnya bisa berkembang dengan baik lewat promosi secara tidak langsung dengan film-film laga, katanya.

Tujuan mendirikan dan melestarikan silat Betawi. Kepada para murid yang piawai, dia membolehkan mereka mengajarkan ilmu silat kepada orang lain. Tahun 1969, Babe Uci mendapat tawaran sebagai kereografer film silat Djampang Mentjari Naga Hitam. Film itu dibintang, antara lain, Sukarno M Noor, WD Mochtar, Moch Mochtar, HIM Damsyik, Wolly Sutinah, dan Nani Widjaja. “Film ini laris, meledak. Ada bioskop yang pintunya sampai runtuh karena penonton terus berdatangan,” cerita Babe Uci.

Karena itu, ia berharap ada sinemas Indonesia yang membuat film laga yang tidak hanya bagus dari sisi cerita, tapi juga menampilkan pencak silat dengan kemasan yang baik. Kalau ada rumah produksi atau sutradara zaman sekarang yang mampu membuat film pencak silat yang baik seperti itu, saya akan senang sekali untuk membantu, katanya.

Meski demikian, Babe Uci hingga kini enggan terlibat dalam sinetron laga. Alasan dia waktu pembuatan sinetron amat singkat ketimbang film layar lebar. Dia merasa tak cukup waktu merancang adegan aksi. Puluhan tahun berkecimpung di dunia silat dan merancang aksi laga pada banyak film, Babe Uci tetap menjadi pribadi yang rendah hati dan sederhana. Dia tetap belajar silat dan mengajarkan ilmunya kepada orang lain. Namun, dia sedih karena tak satupun dari 9 anaknya (2 lelaki, 7 perempuan), 35 cucu, dan 2 cicitnya mau serius menekuni silat. “mereka lebih suka olah raga lain,seperti bola basket atau sepak bola,” kata anak pasangan Suraji dan Ariyeh ini. Satu harapan Babe Uci, naskahnya tentang pendekar silat dari Ngarai Sianok dapat difilmkan. “film itu memadukan silat gaya Sumatra, Jawa, Bali, dan Madura,” ujar dia.

Dalam buku Maen Pukulan Khas Betawi karya GJ Nawi, dituliskan tentang adanya 317 aliran main pukulan Betawi. Beberapa di antaranya telah terdaftar sebagai warisan budaya tak benda dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Terbaru pada 2019, ada silat Mustika Kwitang, silat Pusaka Djakarta, silat Troktok, dan silat Sabeni Tenabang. Menyusul yang sudah ditetapkan lebih dulu adalah silat Beksi dan silat Cingkrik.

Pada umumnya silat tradisional Indonesia dikenal dengan nama pencak silat, berbeda istilahnya bagi kebanyakan pesilat Betawi. Walaupun demikian, maksud yang terkandung tidak lain dan tidak bukan adalah pencak silat.

"Di Betawi istilahnya bukan pencak silat tapi maen pukulan," ujar Sanusi yang kerap disapa Babe Uci di Graha Bhakti Budaya. Tidak hanya itu, tiap wilayah memiliki keunikannya tersendiri dari maen pukulan yang sudah ada sejak lama.

"Istimewanya Betawi tiap kampung mempunyai jurusnya sendiri-sendiri," tutur Babe Uci. Ia menilai dengan adanya keberagaman main pukulan ini perlu dilestarikan dan dikembangkan dengan dibuat sekolah khusus silat.

"Bikin Sekolah Silat Indonesia. Silat beksi ada gurunya, silat cingkrik ada gurunya, mau belajar Mustika Kwitang ada gurunya. Jadi tiap wilayah ada, kita enggak kehilangan pencak, kalau mau bergerak jangan tanggung-tanggung," ujar Babe Uci. Walaupun demikian, Babe Uci menilai yang terpenting dalam setiap individu adalah akhlaknya, bukan silatnya. Ia pun siap membantu pemerintah dalam memberikan pengajaran silat kepada generasi penerus bila diberikan kesempatan.

"Kita yang udah tua-tua ini siap bantu pemerintah buat mengajarkan silat-silat. Kalau ada sekolah orang tua enggak mesti ke kampung-kampung dan tiap bulan udah pasti dapet gaji," tutur Babeh Uci disambut tawa audiens yang hadir.

Berbekal kecintaan untuk terus melestarikan silat Betawi, Babe Uci mendirikan Perguruan Pencak Silat Pusaka Djakarta pada tahun 1953 di Jl Dr Saharjo, RT 09/10, Nomor: 15, Kelurahan Manggarai Selatan, Tebet, Jakarta Selatan, yang juga menjadi kediamannya. Namun, untuk latihan belum ada tempat tetap, bisa di lapangan atau kantor kelurahan.

Jumlah murid saat ini ada ribuan orang, termasuk penulis sendiri yang saat ini sudah menjadi guru juga, Mereka yang mau ikut berlatih tidak dipungut bayaran sedikitpun. Dijelaskannya Aliran jurus yang menjadi andalan Perguruan Pencak Silat Pusaka Djakarta adalah gerakan cepat. Artinya, tidak memberi waktu kepada musuh untuk melawan atau menyerang balik. "Jurus gerak cepat adalah salah satu ciri khas perguruan ini. Penggabungan dari gerakan kaki dan tangan dengan tidak memberi waktu lawan untuk membalas," katanya.

Karena keunikan ilmu Gerak Cepat itu sendiri, katanya. Karakter aliran ini memang cukup unik, yakni mengandalkan kecepatan dalam perkelahian. Begitu lawan menyerang, langsung secepatnya kita harus tangkis dan balas, kata Sisu, salah satu murid Bang Uci. Serangan lawan hanya ditangkis dengan cepat dan dalam waktu bersamaan pesilat langsung meluncurkan serangan balasan. Kecepatan menjadi sangat penting agar lawan tidak memiliki kesempatan untuk melakukan serangan susulan, kata Dadang, murid Bang Uci lainnya.

Serangan dilakukan dengan menggunakan buku jari dan ujung jari ke daerah-daerah rawan dari tubuh lawan. Adapun serangan kaki dilakukan dengan melakukan sapuan terhadap kuda-kuda lawan. Lagi-lagi semua serangan harus dilakukan dengan cepat. Kalau gerakannya lambat, lawan akan mudah melakukan antisipasi, katanya.

Usia yang sudah tidak lagi muda membuat intensitasnya dalam memberikan pelatihan langsung semakin berkurang. Tapi, dirinya tetap berusaha untuk memantau saat latihan berlangsung. "Butuh waktu tiga hingga empat bulan untuk menguasai pencak silat ini. Hal terpenting, mau serius dan sungguh-sungguh, itu resepnya," ujar Bang Uci penuh semangat.

Dalam usia senjanya, Bang Uci berharap, Pemprov DKI terus memberikan peluang dan kesempatan bagi pecinta seni Betawi untuk bisa menggelar kegiatan kesenian. "Saya sudah tidak lagi muda, tapi masih bangga dan cinta terhadap kesenian pencak silat Betawi. Kalau bukan kita yang melestarikan budaya sendiri, siapa lagi," tandasnya.

Untuk Melestarikan Silat Betawi Dua pekan lalu, ratusan orang berseragam hitam-hitam memenuhi Gang Bedeng, Manggarai, Jakarta Selatan. Di sana, mereka memperagakan atraksi pencak silat yang mendapat sambutan cukup antusias.

Tak kalah menarik perhatian adalah kehadiran beberapa figur penting, seperti Presiden Persekutuan Pencak Silat Antarbangsa (Persilat) Eddie M. Nalapraya, Ketua Harian Ikatan Pencak Silat Indonesia Rachmat Gobel, Ketua Umum Persatuan Pencak Silat Putra Betawi Deddy Suryadi, dan Ketua Harian Persilat Rustadi Effendi. Pusaka Djakarta adalah silat yang dipelajari Babe Uci dari gurunya, Mursadi bin Rabidun (wafat pada 1975). Guru saya (almarhum) belajar dari banyak guru, seperti Pak Salim, Pak Minan, Pak Ningnong, Mandor Peris, dan Pangeran Pakpak dari Cirebon, katanya.

Pusaka Djakarta adalah silat yang dipakai oleh Sunan gunung jati atau Syarif Hidayatullah atau Sayyid Al-Kamil dan para keturunannya.  

Uci muda mulai belajar dari gurunya yang tinggal di Sawah Besar mulai 1943 sampai wafatnya pada 1975. Ketika itu usia beliau sudah 70-an, ujarnya. Babe Uci juga menyempatkan belajar aliran silat lain, seperti Cimande, Aliran Lima Waktu, dan Gerak Rasa. Niat utama saya adalah menjaga dan menjalin silaturahmi dengan guru-guru silat lainnya, katanya.

Setelah bekalnya dirasakan cukup, Uci akhirnya membentuk perguruan silat. Dalam waktu tidak terlalu lama, Pusaka Jakarta akhirnya berkembang ke lima wilayah Jakarta. Hal ini karena Bang Uci menerapkan prinsip desentralisasi dengan membebaskan muridnya yang sudah mumpuni untuk mengajarkan ilmunya.


H. SANUSI
Lahir               : Jakarta, 4 September 1931
Istri                 : Nani
Pendidikan      : Pesantren di Tasikmalaya selama 10 tahun
Pencapaian :

1.      Mendirikan dan mengelola perguruan Silat Pusaka Djakarta, 1957-kini

2.      Film pertama “Djampang Mentjari Naga Hitam”,1969

3.      Terlibat dalam pembuatan 28 film

4.      Memperoleh penghargaan, antara lain Anugrah Budaya dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta,2013

Cabang Tempat Latihan :

1.      Manggarai(Pusat)

2.      Rasamala

3.      Pulo

4.      Kalibata

5.      DurenTiga

6.      Kragilan (Banten), dll.

 

Sumber dan referensi

Wawancara
Buku

Nawi, G. J. 2016. Maen Pukulan Khas Betawi. Jakarta: pustaka obor Indonesia.

 

Internet

http://mujahidrs.blogspot.com/2011/05/pencak-silat-pusaka-djakarta.html?m=1 / Diakses pada 2 September 2020

 

http://pencaksilat-pusakadjakarta-babeuci.blogspot.com/?m=1 / Diakses pada 2 September 2020

 

https://m.liputan6.com/regional/read/4164474/guru-besar-pusaka-djakarta-sarankan-pemerintah-bikin-sekolah-silat-indonesia / Diakses pada 2 September 2020

 

https://m-beritajakarta-id.cdn.ampproject.org/v/m.beritajakarta.id/amp/read/47872/sanusi-sang-maestro-seni-tradisi-bidang-pencak-silat-betawi?amp_js_v=a3&_gsa=1&usqp=mq331AQFKAGwASA%3D#aoh=15990675560853&referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com&_tf=Dari%20%251%24s&ampshare=http%3A%2F%2Fm.beritajakarta.id%2Fread%2F47872%2Fsanusi-sang-maestro-seni-tradisi-bidang-pencak-silat-betawi / Diakses pada 2 September 2020


Post a Comment

أحدث أقدم