TRILOGI VAN DEVENTER: KEBIJAKAN POLITIK ETIS IRIGASI, EDUKASI DAN IMIGRASI


Ditulis Oleh : Utami Hadiyanti
(Mahasiswa Pendidikan Sejarah Angkatan 2018)


Abstrak

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui tentang kebijakan pada masa politik etis atau yang biasa disebut trilogi Van Deventer. Sebagaimana diketahui bahwa Kemerosotan kesejahteraan Penduduk pribumi. Pulau Jawa melatarbelakangi lahirnya Politik Etis. Ratu Wihelmina, dalam pidato pembukaan di parlemen Belanda mengatakan bahwa Pemerintah kolonial Belanda di penghujung era Sistem Liberal. Memiliki tugas Moral, di dalam pidato tersebut tersirat pengakuan bahwa Pemerintah Belanda memiliki Hutang Budi (Ereschuld) yang merupakan tujuan utama, yaitu memperbaiki ekonomi koloni dan penduduk Pribumi  dimana Politik etis dipusatkan membangun irigasi, menyelenggarakan imigrasi, dan memberikan sebuah pendidikan bagi bangsa Indonesia. Politik etis menuntut bangsa Indonesia kearah kemajuan, namun tetap bernaung di bawah penjajahan Belanda. Sistem irigasi ada dimana-mana, masyarakat mengenal sistem  pertanian dan perkebunan modern. Emigrasi atau trasmigrasi, dimana masyarakat dikirim  keluar pulau Jawa, masyarakat Indonesia menjadi kenal satu sama lain dan membangun hubungan yang baik.

Kata Kunci : Politik Etis, Kemerosotan, Hutang Budi


PENDAHULUAN


Perkembangan baru dalam politik Belanda di Indonesia terjadi di Indonesia  sekitar awal abad ke-20. Politik baru yang perkembangannya berpedoman pada peningkatan kemajuan rakyat Indonesia. Politik baru tersebut disebut dengan ethische politic, yang berarti politik haluan utama (Mulyono, 1968:99).

Menurut Ricklefs, (2007:319). Pada permulaan abad ke-20, kebijakan penjajahan Belanda mengalami perubahan arah yang paling mendasar dalam sejarahnya. Kekuasaannya memperoleh definisi kewilayahan baru dengan selesainya upaya-upaya penaklukan yang dilakukan sebelumnya. Kebijakan kolonial Belanda tersebut kini juga memiliki tujuan baru. Politik Etis berakar pada masalah kemanusiaan dan sekaligus pada keuntungan ekonomi. Kecaman-kecaman terhadap pemerintah kolonial Belanda yang dilotarkan dalam novel Max Havelaar (1860) dan dalam dalam berbagai pengungkapan lainnya mulai membuahkan hasil. Semakin banyak suara Belanda yang mendukung pemikiran untuk mengurangi penderitaan rakyat Jawa yang tertindas (Galih, Dhimas Rangga & Artono, 2017: 752).

Sepanjang abad kesembilan belas, surplus tanah koloni telah diserap setiap tahun sebagai upeti ke kas Belanda. Sebagai berkat pembayaran ini, Belanda dapat memodernisasikan dan membangun masyarakat borjuis yang sukses. Menjelang masa Depresi, Partai Liberal telah menjadi arus dominan dalam pembuatan kebijakan dan politik di Belanda. Periode Politik Etis sebenarnya tergantung pada penaklukan militer dalam waktu yang bersamaan dengan itu, karena hanya ketika Hindia Belanda tergabung ke dalam satu entitas tunggal saja yang memiliki tujuan modernisasi sampai dapat dicapai. Di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal van Heutsz jaringan kereta api diperluas di Jawa dan Sumatera, monumen kuno seperti Candi Borobudur dipugar, dan kesempatan pendidikan diperluas selebar-lebarnya(Vickers, Adrian, 2011: 24-27).

Politik Etis berakar pada masalah kemanusiaan dan sekaligus pada keuntungan ekonomi. Di Hindia Timur pada tahun-tahun permulaan abad kedua puluh, orang telah mulai bekerja mengembangkan semangat Politik Etis. Di abad ke-19, sebagian orang Belanda sudah mulai prihatin terhadap kesejahteraan dan status pribumi. Bangsa Indonesia membutuhkan sebuah perubahan kehidupan perekonomian dan pendidikan. Kemauan dari politik etis yang diberikan oleh bangsa Belanda terhadap bangsa Indonesia yang lemah secara adil. Untuk menumbuhkan kesadaran diri dan perasaan individualisme pada elit baru Indonesia yang berpendidikan Barat itu sebenarnya suatu pengurangan terus menerus meningkatkan martabat mereka, yang berakibat pada pengurangan kekuasaan tata pemerintahan pribumi (Van Niel, Robert, 1984: 58).

Van Deventer mendapat inspirasi untuk tulisannya didasarkan atas pandangannya terhadap politik penghisapan yang dilakukan oleh bangsa penjajah terhadap masyarakat Hindia-Belanda (Indonesia). Ia menganggap bahwa masyarakat Hindia-Belanda sudah cukup mengalami penderitaan dalam upaya untuk memakmurkan perekonomian negara Belanda. Menurut Van Deventer, sudah saatnya pemerintah Belanda memperhatikan kemajuan rakyat jajahannya. Pemerintah Belanda harus menebus hutangnya kepada masyarakat pribumi dengan memberikan prioritas utama yaitu mensejahterakan mereka (Utomo, 1995: 13).

Melihat latar belakang dari proses pembetukan sistem Politik Etis dengan trilogi Van Deventernya, maka penulis ingin mengungkapkan bagaimana proses pelaksanaan dari Politik Etis tersebut serta dampak yang ditimbulkan setelah diberlakukannya sistem politik tersebut.


 

PEMBAHASAN

·         Proses Pelaksanaan Politik Etis

Pelaksanaan politik etis oleh pemerintah kolonial Belanda, sudah pasti, tidak lepas dari kepentingan kolonial Belanda. Politik etis menuntun bangsa Indonesia kearah kemajuan, namun tetap bernaung di bawah penjajah Belanda. Politik Etis secara resmi ditetapkan pada bulan September 1901, ketika Wilhelmina menyampaikan pidato tahunan. Awal mula dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab, bahwa Belanda memperhatikan pribumi dan membantu Indonesia saat mengalami kesulitan.Tidak ada tekad baik dan keikhlasan hati yang tulus untuk melaksanakannya. Mereka berbuat demikian karena takut kritik dan takut kalau tetap membiarkan penderitaan penduduk pribumi terus menerus akan memicu timbulnya perlawanan rakyat secara meluas atau terus menerus. Yang kolonialistik-eksploitatis (Daliman, A, 2012: 72).

Pada17 September 1901 Ratu Belanda, yaitu Ratu Wilhelmina (1890-1948) mengumumkan mengenai suatu penyelidikan tentang taraf kesejahteraan masyarakat yang berada Jawa. Isi pidato dari Ratu Belanda yaitu “sebagai negara Kristen, Nedherland berkewajiban di Kepulauan Hindia-Belanda untuk lebih memperhatikan penduduk pribumi, memberikan jalan yang tegas terhadap Kristenisasi, serta meresapi keseluruhan tingkah laku pemerintah dengan kesadaran bahwa Netherland mempunyai meringankan beban bangsa Indonesia dengan adanya kebijakan politik etis pada daerah ini. Berhubungan dengan itu, kesejahteraan rakyat Indonesia yang telah mengalami masa penjajahan selama bertahun-tahun. Politik Etis dimulai secara resmi setelah pidato dari Ratu Belanda dan merupakan pertanda bagi dimulainya zaman baru bagi masyarakat Indonesia (Nasution, 1983: 15).

Dalam misi untuk menyelidiki kemerosotan kemakmuran di Jawa, pada tahun 1904 Menteri Idenburg menugaskan Van Deventer dan beberapa rekannya  yang juga mendukung jalannya Politik Etis yaitu G.P. Rauffaer, E.B. Kielstra, dan D. Fock untuk membuat sebuah ikhtisar keadaan. Ikhtisar tersebut dibuat dengan  menunggu hasil verifikasi penjajahan yang telah menyengsarakan rakyat pada tahun yang sama (1904). Setelah melaksanakan politik pintu terbuka, pemerintah Hindia Belanda memasuki periode kapitalisme modern. Hasil revolusi Industri selama dua puluh tahun sebelumnya terwujud dalam perkembangan industri, perkapalan, perbankan, dan komunikasi yang modern. Laporan tersebut berisi mengenai kemunduran masyarakat Jawa. Laporan yang dibuat Van Deventer kemudian memiliki peran yang cukup penting dan kemudian diserahkan kepada pemerintah di Negeri Belanda. Laporan yang dibuat oleh Van Deventer kemudian dijadikan sebagai usulan, namun mendapat tentangan dari kaum Liberal dan Demokrat Radikal. Pengairan, kredit pertanian, dan emigrasi mendapat perhatian, namun tidak dengan pendidikan yang malah diabaikan (Niel, 1984: 58).  

Semua ini berlangsung dalam suatu lingkungan ekonomi yang sedang berubah dengan cepat. Aksi-aksi penaklukannya didaerah-daerah diluar Jawa telah memperluas kekuasaan Belanda atas wilayah-wilayah di Nusanntara yang lebih penting dalam pembangunan ekonomi baru dari pada Jawa. Ada dua jenis komoditi yang sangat penting untuk menempatkan Indonesia pada garis depan bagi kepentingan perekonomian dunia pada abad ke-20, yaitu minyak bumi dan karet (Ricklefs, 2007:320-321).

Pada abad ke-19 sebagian orang Belanda sudah mulai prihatin terhadap kesejahteraan dan status masyarakat pribumi. Mereka kemudian melakukan usaha-usaha secara pribadi untuk perbaikan keadaan. Orang-orang yang berusaha membantu dalam meningkatkan kemakmuran Hindia-Belanda yaitu pertama K. E. Holle merupakan seorang yang membantu langsung dalam bidang pertanian kepada orang Sunda dan berusaha untuk memperbaiki keadaan negeri dan penduduk Hindia-Belanda. Kedua, C. Snouck Hurgronje merupakan penasihat yang berhubungan dengan soal-soal pribumi. Beliau merupakan orang yang telah menguasai pengetahuan mengenai kehidupan dan adat kebiasaan penduduk Jawa pada tahun 1890. Beliau juga memberikan konsep tentang memberikan pendidikan, pengairan dan perpindahan penduduk. Untuk pendidikan yang pada awalnya hanya untuk kaum priyayi, namun karena adanya kebutuhan birokrasi yang semakin meningkat, maka banyak anak priyayi rendah dan bahkan orang biasa dapat masuk pendidikan Barat di Hindia-Belanda (Indonesia). Ketiga,W.P.D. de Wolff van Westerrode yang meletakkan dasar-dasar pengorganisaian Bank Kredit untuk Simpan Pinjam dan Pertanian yang mengadakan perlindungan terhadap hutang-hutang (Niel, 1984: 60).

Di bawah Abendanon, politiketis yang memberikan pendidikan bergaya eropa dan pemakaian bahasa Belanda lebih diutamakan. Pada tahun 1900, tiga hoofdensholen Sekolah para kepala yang lama di Bandung, Magelang, dan Probolinggo disusun kembali menjadi Sekolah-Sekolah yang nyata-nyata direncanakan untuk menghasilkan pegawai pemerintah dan diberi nama baru OSVIA (Opleiding Scholeh Voor Inlandsche Ambtenaren, Sekolah pelatihan untuk pejabat pribumi). Pejabat pribumi di Sekolah di bimbing dan diajari cara melaksanakan kewajiban dalam birokrasi pemerinntahan nantinya. Masa pendidikannya berlangsung 5 untuk menyelesaikan pendidikan di Sekolah rendah Eropa (Galih, Dhimas Rangga & Artono, 2017: 757).

Penduduk pribumi hanya berkaitan dalam proyek-proyek infrastruktur saja. Dimana mempunyai kaitan lebih langsung dengan kesejahteraan adalah proyek-proyek pengairan yang diupayakan pemerintah namun tidak selalu berhasil. Suatu rencana yang akan diupayakan dalam mengalirkan sungai Bengawan Sala harus diabaikan setelah melalui perjalanan panjang padahal telah menelan dana sekitar 17 juta gulden. Meskipun demikian, luas kawasan persawahan yang dapat diairi antara tahun 1885 dan 1930 meningkat sekitar 1,8 kali lipat. Arti pentingnya dapat dilihat pada perspektif jumlah penduduk yang juga meningkat dengan jumlah yang kira-kira sama dalam periode yang sama. Pemerintah kolonial Belanda gagal membuat kebijakan yang dapat mendorong   industrialisasi di Indonesia (Ricklefs, 2007:325-326)

Pemerintah Belanda memegang peranan penting dalam pendidikan. Perubahan pendidikan tidak akan terjadi tanpa adanya persetujuan Gubernur Jenderal atau dewan pendidikan yang bertindak atas nama pemerintah kolonial Belanda. Pendidikan pada masa kolonial Belanda tidak didasari oleh adanya struktur organisasi yang teratur, sebab pendirian lembaga pendidikan hanya sebagai wujud usaha pemerintah Belanda untuk mempermudahkan dalam pelaksanaan politiknya. Adanya lembaga pendidikan, menjadikan masyarakat berpacu untuk meningkatkan intelektual bangsa, walaupun kebijakan pendidikan  masih terbatas (Ismawati, Dwi Nur, dkk, 2017: 284-285).

Agar seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kekuasaan sekaligus juga dapat mempunyai kewenangan atas kekuasaan itu, maka yang bersangkutan dapat memperolehnya melalui berbagai sumber kewenangan yang ada. Melalui sumber-sumber kewenangan tersebut yang dimilikinya, dan berbagai macam cara yang dapat ditempuh untuk memperolehnya. Kewenangan atau wewenang dapat diperoleh dari sumber-sumber instrumental. Sumber kewenangan ini menunjukkan bahwa hak untuk memerintah berasal dari instrumen yang dimilikinya, seperti keahlian, keterampilan ataupun kekayaan. Adanya seseorang untuk mempunyai kewenangan atau hak untuk memerintah karena dimilikinya keahlian di bidang tertentu ataupun kekayaan yang melimpah (Haryanto, 2005: 13-16).

Banyak sekali usaha yang dijalankan di bidang pendidikan, dan hasil hasilnya sering kali membuat bangga para pejabat Belanda. Semua Politik Etis dan Pengaruhnya bagi Lahirnya Pergerakan mendukung politik Etis menyetujui ditingkatkannya dunia pendidikan bagi bangsa Indonesia dan memeratakan  kesejahteraan rakyat Indonesia atas Hindia Belanda. Para tokoh Belanda yang mendukung politik etis mengupayakan supaya politik etis terealisasi bagi rakyat Indonesia. Pendekatan elitis diharapkan dapat memberikan sumbangan secara langsung bagi kesejahteraan. Tak satu kebijakan pun dijalankan dengan dana yang cukup memadai, dan tak satu pun menghasilkan apa yang diinginkan oleh para pendukungnya (Ricklefs, 2007:329-330).

·         Pengaruh Politik Etis Terhadap Kebangkitan Nasional

Kebijakan Politik Etis pemerintah Kolonial Belanda dalam mendirikan Sekolah-sekolah bagi anak-anak pribumi merupakan langkah awal  dalam perjuangan pemuda di Indonesia. Meskipun sebagian besar  yang diperbolehkan sekolah adalah anak-anak dari para bangsawan pribumi (elit  pribumi), namun kemudian para anak bangsawan itu muncul sebagai kaum  intelek yang memikirkan nasib bangsanya yang tertindas. Para pemuda lulusan  sekolah-sekolah tinggi kehakiman, kedokteran dan teknik yang kemudian berperan dalam perjuangan para pemuda Indonesia kalangan terpelajar.  Pada  awalnya, perjuangan pemuda Indonesia dimulai dari Sekolah Menengah (STOVIA, OSVIA dan sekolah pertanian), namun kemudian mahasiswa dari sekolah tinggi pun ikut mengambil bagian. Lulusan sekolah-sekolah menengah maupun sekolah tinggi itu yang kemudian menjadi pioner dalam perjuangan bangsa Indonesia dan pergerakan emansipasi kemerdekaan (Leirissa, 1985: 29).

Melalui surat kabar dapat dilihat kondisi kaum pribumi pada masa kolonial Belanda, antara lain keterpurukan hidup yang dialami masyarakat Indonesia dalam berbagai bidang, status yang rendah bila dibandingkan dengan golongan Eropa, diskriminasi antara pribumi dan Belanda (Kartodirjo, 2014: 115-116).

 

KESIMPULAN

Bangsa Belanda di negeri Belanda memprotes kebijakan sebelumnya yang tidak memperhatikan kehidupan masyarakat Indonesia . Pada akhir abad XIX, para pegawai kolonial baru yang datang dari negeri Belanda menuju Indonesia sudah memiliki suatu pemikiran tentang pemerintah kolonial ini. Berbekal pengetahuan dasar dari isi novel Max Havelaar, sebagian besar pegawai kolonial ini membawa pemikiran etis ke Hindia Belanda. Politik etis membawa sedikit perubahan dalam kehidupan bangsa Indonesia. Dimana ada tiga kebijakan baru yang diterapkan, yaitu pendidikan (education), irigasi (pengairan) dan emigrasi (perpindahan penduduk). Adanya politik etis ini masyarakat diharapkan memiliki hidup yang lebih baik dan makmur. Politik etis ini ternyata hanya menguntungkan pemerintah Belanda, dimana kebijakan politik etis ini hanya memberikan banyak manfaat bagi bangsa Kolonial Belanda dan bangsa asing lain di Indonesia. Kebijakan politik etis seperti pengairan atau irigasi hanyalah untuk kepentingan perkebunan bangsa Belanda dan bangsa asing lainnya, seperti program trasmigrasi atau perpindahan penduduk dari Jawa ke Sumatera,

 Kalimantan dan pulau-pulau yang kurang jumlah penduduknya, ternyata hanya untuk perkebunan bangsa Belanda, begitu juga bidang Edukasi atau pendidikan hanya untuk anak-anak keturunan bangsa Belanda, bangsa Eropa dan anak para bangsawan lokal yang mampu menempuh dunia pendidikan.

 

 


DAFTAR PUSTAKA


Daliman, A, (2012). Sejarah Indonesia Abad XIX-Awal Abad XX. Yograkarta: Ombak. Diakses pada tanggal 13 Mei 2019, dari Jurnal HISTORIA Volume 6, Nomor 2, Tahun 2018, ISSN 2337-4713 (e ISSN 2442-8728.Tersedia pada: https://www.researchgate.net

Galih, Dhimas Rangga & Artono, (2017). Penerapan Politik Etis di Surabaya Tahun 19111930. Avatara Jurnal Pendidikan Sejarah Volume 6, Nomor 3. Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Unnesa. Surabaya. Diakses pada tanggal 13 Mei 2019, dari Jurnal HISTORIA Volume 6, Nomor 2, Tahun 2018, ISSN 2337-4713 (e-ISSN 2442-8728.Tersedia pada: https://www.researchgate.net 

Haryanto, (2005). Kekuasaan Elit Suatu Bahasan Pengantar. Yogyakarta: JIP Fisipol UGM. Diakses pada tanggal 13 Mei 2019, dari Jurnal HISTORIA Volume 6, Nomor 2, Tahun 2018, ISSN 2337-4713 (e-ISSN 2442-8728.Tersedia pada: https://www.researchgate.net 


Ismawati, Dwi Nur, dkk.(2017). The Intelectual’s Contribution In The National Movement ofIn Indonesian 1908-1928. Jurnal Historica Volume1, Issue. 1. History Education Program Unej. Jember. Diakses pada tanggal 13 Mei 2019, dari Jurnal HISTORIA Volume 6, Nomor 2, Tahun 2018, ISSN 2337-4713 (e-ISSN 2442-8728.Tersedia pada: https://www.researchgate.net

Kartodirjo, S. (2014). Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional.Yogyakarta: Ombak. Diakses pada tanggal 13 Mei 2019, dari Jurnal HISTORIA Volume 6, Nomor 2, Tahun 2018, ISSN 2337-4713 (e-ISSN 2442-8728.Tersedia pada: https://www.researchgate.net 

Leirissa, R.Z. (1985). Sejarah Masyarakat Indonesia 1900-1950. Jakarta: Akademika Pressindo. Diakses pada tanggal 13 Mei 2019, dari Jurnal HISTORIA Volume 6, Nomor 2, Tahun 2018, ISSN 2337-4713 (e-ISSN 2442-8728.Tersedia pada: https://www.researchgate.net

Mulyono, S. (1968). Nasionalisme Sebagai Modal Perjuangan Bangsa Indonesia I.Jakarta: Balai Pustaka. Diakses pada tanggal 13 Mei 2019, dari Jurnal HISTORIA Volume 6, Nomor 2, Tahun 2018, ISSN 2337-4713 (e-ISSN 2442-8728.Tersedia pada: https://www.researchgate.net 

Nasution, (1983). Sejarah Pendidikan Indonesia. Bandung: Bumi Aksara. Diakses pada tanggal 13 Mei 2019, dari Jurnal HISTORIA Volume 6, Nomor 2, Tahun 2018, ISSN 2337-4713 (e-ISSN 2442-8728.Tersedia pada: https://www.researchgate.net

Niel, R.V. (1984). Munculnya Elit Modern Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya. Diakses pada tanggal 13 Mei 2019, dari Jurnal HISTORIA Volume 6, Nomor 2, Tahun 2018, ISSN 2337-4713 (e-ISSN 2442-8728.Tersedia pada: https://www.researchgate.net 

Ricklefs, M.C. (2007). Sejarah Indonesia Modern (1200-2004).Jakarta: Serambi Alam Semesta. Diakses pada tanggal 13 Mei 2019, dari Jurnal HISTORIA Volume 6, Nomor 2, Tahun 2018, ISSN 2337-4713 (e-ISSN 2442-8728.Tersedia pada: https://www.researchgate.net   

Utomo, C.B. (1995). DinamikaPergerakan Kebangsaan Indonesia: Dari KebangkitaHingga Kemerdekaan. Semarang: IKIP Semarang Press. Diakses pada tanggal 13 Mei 2019, dari Jurnal HISTORIA Volume 6, Nomor 2, Tahun 2018, ISSN 2337-4713 (e-ISSN 2442-8728.Tersedia pada: https://www.researchgate.net 

Vickers, Adrian.(2011). Sejarah IndonesiaModern. Yogyakarta: Insan Madani. Diakses pada tanggal 13 Mei 2019, dari Jurnal HISTORIA Volume 6, Nomor 2, Tahun 2018, ISSN 2337-4713 (e-ISSN 2442-8728.Tersedia pada: https://www.researchgate.net 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama