Abstrak
Peristiwa heroik cikande udik mungkin
jarang terdengar ataupun baru didengar oleh sebagian orang di negeri ini.
Ketika masa kolonialisme di Indonesia, Banten menjadi salah satu daerah
destinasi penjajah untuk dieksploitasi hasil alamanya. Telah lama Banten
dikenal dengan kesuburan tanahnya dan kemakmuran penduduknya, dapat dilihat
hingga saat ini ketika mulai memasuki daerah provinsi Banten hamparan sawah
menyambut yang terbentang disisi kiri dan kanan jalan. Salah satu daerah dengan
hasil pertanian yaitu di daerah Cikande, Cikande adalah sebuah kecamatan di
Kabupaten Serang, Provinsi Banten, Indonesia.
Pada masa kolonial, Belanda menguasai
daerah titik-titik urat nadi masyarakat Banten. Di Banten pula terdapat
karesidenan sehingga mempermudah pemerintah kolonial Hindia-Belanda untuk
mengawasi dan mengatur pemerintahan yang ada di Banten. Di cikande sendiri,
pada masa Kolonial Belanda terdapat perkebunan Cikande Udik yaitu lahan
pertanian partikelir milik P.J Kamphuis. Malapetaka tidak dapat dihindari dan
memakan banyak korban baik dari pihak Belanda maupun pihak Pribumi. Hal ini
terjadi disebabkan oleh ketidakpuasan akan struktur yang ada dimana tuan tanah
menerapkan kebijakan yang merugikan bagi pribumi, perisitiwa heroic ini terjadi
di perkebuan Cikande Udik, Kabupaten Serang pada 13 Desember 1845. Menurut
Luman Hakim dalam bukunya Banten dalam
Perjalanan Juralis, Pemberontakan di Cikande Udik pernah dimuat dalam koran
Javasche Courant 14 Januari 1846 dan
dalam surat resmi residen Banten 30 Januari 1846. Laporan residen Bruijn tahun
1859. Catatan Nina Lubis dalam bukunya pun membahas mengenai peristiwa
pemberontakan yang heroik ini.
Kata
Kunci : Pemberontakan, Tanah Partikelir, Cikande Udik.
A. Latarbelakang
Peristiwa yang melanda
tanah partikelir Cikande sebagai akibat dari gerakan perlawanan Nyi
Gamparantahun 1836 telah membawa pengaruh besar dalam hal perubahan kepemilikan
tanah. Akan tetapi dampak kerusuhan yang terjadi pada tahun 1845, terutam di
Cikande Udik. Peristiwa ini jauh lebih besar dan mempunyai pengaruh yang lebih
luas dibandingkan peristiwa tahun 1836, bahkan berita tentang kerusuhan ini
mencapai Den Haag dan mendorong seorang Gubernur Jendral untuk memberikan
penjelasan. Bagi pemerintah Belanda, dampak menggemparkan ini terjadi karena
korban yang jatuh termasuk juga beberapa orang Belanda yaitu tuan tanah Cikande
udik dan keluarganya. Di samping itu, ada kecuringaan behawa pelaku kerusuhan
tahun 1845 masih memiliki hubungan kerabat dan pengaruh dari tokoh kerusuhan
tahun 1836 yaitu Nyi Gamparan.
Sejak dilepaskan oleh
pemiliknya pada tahun 1836, perkembangan pesat dialami oleh tanah-tanah ini.
Para pemilik yang baru, dengan jaminan keamanan dari aparat pemerintah dan
harapan untuk memasok produk tanaman lebih besar, memaksimalkan produk kedua
tanah tersebut. Dalam catatan pemerintah selama beberapa tahun setelah
penjualan, tanah Cikande Udik mampu menghasilkan produk empat kali lipat dari
hasil produksi yang dicapai sebelum tanah ini dijual. Sementara itu Cikande
Hilir dapat memasok 20 ribu pikul beras. Meskipun prioritas utama dalam hal
penanaman di kedua tanah ini bukan merupakan komoditi ekspor melainkan tanaman
pangan, hasil produksi diatas memiliki nilai yang tinggi untuk memasok tanaman
pangan bagi kebutuhan pemerintah dan penduduk sehingga mencegah terjadinya
potensi kelaparan selama Culture Stelsel di
daerah itu.
Tanah Cikande Udik
telah dijual kepada Tan Keng Bun setelah peristiwa kerusuhan tahun 1836. Namun
tampaknya Tan tidak lama memilikinya dan melepaskannya kembali. Ia menenmukan
pembeli seorang Belanda bernama P.S.J Kamphuis. Dalam pengelolaan tanah ini,
Kamphuis tinggal di pesanggrahan bersama keluarganya. Di sana ia juga membangun
sturuktur managemen yang bertugas mengatur dan mengawasi kinerja penduduk demi
keuntungan maksimal yang dihasilkan dari tanah partikelir tersebut. Untuk itu
ia mengangkat seorang administrator bernama Pes, yang ebrtugas menjadi menager
pimpinan dari staf bawahannya, yang sebagian besar terdiri atas orang-orang
eropa. Di antara mereka yang tercatatat sebagai pengawas adalah Viering dan
Waubert de Pasau. Mereka juga tinggal di tanah ini bersama keluarganya dan
menempati kompleks bangunan di sekitar pesanggrahan milik Kamphuis.
Meskipun dalam laporan,
Kamphuis adalah sosok tuan tanah yang baik dan penuh perhatian kepada penduduk
yang tinggal di tanah partikelirnya, administratornya Pes dianggap berbeda
dengan sifat tingkah laku tuan tanahnya. Pes bermaksud untk memaksimalkan
produktivitas tanah tersebut dengan menerapkan managemen target kuota hasil
bumi yang bisa dijual. Untuk itu pada pertengahan tahun 1845, Pes menerbitkan
sebuah peraturan baru yang diberlakukan dalam pengelolaan tanah partikelir
Cikande Udik. Peraturan itu adalah penetapan luas persegi tanah yang baru,
menetapkan daya produksi tertentu dan memungut 1/5 dari hasil yang
diperolehnya. Berdasarkan ketentuan ini, klasifikasi jenis tanah dan hasilnya
ditetapkan sebagai berikut:
1. Sawah
kelas-1 3 ¾ caing
2. Sawah
kelas-2 2 ½ caing
3. Tanah
lain 1 ¼
caing
Semua
jumlah di atas ditetapkan per bahu.
Jumlah tersebut
dianggap terlalu tinggi, dan hanya bisa dicapai pada saat panen padi sangat
berhasil dan produksinya berlimpah. Hal ini didasarkan pada rata-rata hasil
panen pai selama tahun-tahun sebelumnya, yang tercatata sebagai berikut
1. Sawah
kelas-1 2 caing
2. Sawah
kelas-2 1 ¼ caing
3. Tanah
lain ¾ caing
Tentu saja peraturan baru yang
dikeluarkan itu menimbulkan keresahan di antara penduduk, yang tkut bahwa kuota
di atas tidak tercapai dan mereka akan menderita hukuman dari tuan tanah.
Sementara itu bagi Pes, pertimbangan utamanya adalah peristiwa kegagalan panen
pada pertengahan tahun 1844, yang mengakibatkan tanah partikelir ini harus
mengimpor beras dari daerah lain. Akan tetapi kegagalan panen itu bukan hanya
terjadi di tanah itu melainkan juga melanda seluruh Karesidenan Banten karena
musim kemarau yang panjang.
B. Kronologi
Sementara itu pada
pertengahan tahun 1845 panen raya yang berhasil terjadi di Karesidenan Banten,
sehingga karesidenan ini menjadi pemasok beras yang diharapkan untuk wilayah
lain, terutama di Jawa Timur, yang menerima giliran mengalami paceklik. Penjualan
beras dari Banten ke Jawa Timur dimungkinkan setelah danya perbaikan jalan
sepanjang aliran Cidurian hingga Tanara, yang menekan biayan produksi. Dari
permintaan yang tinggi ini, penjualan beras keluar Banten menjadi transaksi
yang sangat menguntungkan. Hal ini menjadi alasan bagi Pes untuk memaksimalkan
produksi padi dengan tujuan menutup deficit yang ditimbulkan akibat paceklik
pada tahun sebelumnya.
Tindakan Pes untuk
mencapai kuota seperti yang dimaksudkan di atas dilakukan juga dari sisi yang
lain. Ketika Pes menyadari bahwa terwujudnya kuota itu akan mengakibatkan semua
beras hilang dari Cikande Udik dan penduduk akan mengalami kesulitan pangan
seperti pada tahun sebelumnya, ia mengambil langkah lain yaitu dengan manaikan
cuke dengan alasan untuk menutup pajak penduduk terhadap pemerintah yang
dibayar lewat tuan tanah (belasting).
Dengan kenaikan cuke, diharapkan hasil dari penjualan kuota padi ini bisa
terpenuhi. Namun kenyataan muncul bahwa mengingat hanya ada satu sumber
produksi, yaitu sawah atau tanah yang ditanami padi, perbedaan antara cuke dan
penyetoran wajib panen padi manjadi kabur. Tidak ada lagi yang bisa diketahui
padi mana yang disetorkan sebagai cuke dan yang dijadikan sebagai kuota panen.
Untuk itu Pes memutuskan bahwa harta penduduk seperti hewan ternak bisa
digunakan sebagai cuke, termasuk kerbau yang difungsikan untuk membajak sawah.
Kondisi di atas tentu
saja menimbulkan keresahan sosial, karena merasa bahwa beban terlalu berat
harus mereka pikul. Upaya untuk mencapai kesepakatan yang dilakukan oleh kepala
desa sebagai wakil penduduk dan pihak tanah partikelir tidak terwujud. Lewat
para penguasanya, kepala cutak dan petugas keamanan (Centeng), Pes memerintahkan penarikan cuke dan hasil panen. Jika
keduanya tidak bisa dipenuhi, para petugas itu diberi wewenang mengangkut benda
apapun yang ditemukan di rumah penduduk dan penghuninya diusir dari tanah
partikelir.
Ketika kepala desa juga
tidak mampu melawan keinginan Pes, penduduk mulai resah dan mencari orientasi
solusi masalahnya. Kali ini, menemukannya pada seorang tokoh informal yang
memiliki pengaruh karena dianggap sebagai sosok yang sakti dan masih memiliki
leluhur yang berkaitan dengan penguasa Banten Lama. Dia adalah bapak Sarientan,
yang tinggal di dusun Rangkaskole, desa Gerduk, Cikande Udik. Pada bulan
April-Mei 1845, Bapa Sarientan tinggal di Batavia dan baru kembali di Cikande
Udik pda akhir bulan itu. Kedatangannya disambut baik oleh masyarakat yang
mendambakan nasihat dari dirinya sebagai sosok guru dan dukun yang mempunyai
kesaktian dan kesucian.
Ketika mendengar
laporan dari penduduk, Bapak Sarientan mengatakan bahwa satu-satunya
penyelesain bagi kondisi buruk ini adalah melakukan pemberontakan. Untuk itu ia
kemudian menghubungi rekan-rekannya yang tinggal di sejumlah desa baik di
Cikande Udik maupun di tanah lain bahkan hingga ke Batavia Ommelanden. Dari
hasil komunikasinya, pada bulan September 1845 orang-orang yang dihubungi
seperti Mas Sahad dan Bapa Sapingie dari tanah Ketapang, di Batavia dan Mas
Ubid dari desa Pamarayang. Dalam pertemuan ini, bukan hanya rencana perlawanan
yang disusun melainkan juga struktur baru yang akan ditegakan setelah
perlawanan berhasil dimenangkan. Dalam struktur itu, suatu tatanan baru akan
dibuat yang akan memerintah tanah Cikande Udik sehingga beberapa orang tokoh
masyarakat yang terlibat kemudian diberi gelar-gelar kedudukan seperti Kyai dan
Kyai Gede.
Di antara mereka yang
dilibatkan oleh Sarientan, juga beberapa orang mandor yang pada tahun 1836 ikut
terlibat dalam gerakan Nyi Gamparan. Penarikan mandor-mandor ini dilakukan
dengan tujuan merekrut anak buahnya juga ke dalam gerakan perlawanan dan juga
didasarkan pada pertimbangan bahwa banyak mandor ini yang tidak puas akibat
gaji mereka tidak dinaikan sejak hampir sepuluh tahun sehingga mereka merasa
harus membat perhitungan dengan tuan tanah. Menurut Sartono Kartodirdjo dalam
bukunya tahun 1985, beberapa pemimpin pemberontakan yang dikenal dalam
peristiwa ini ialah, Mas Endong, Mas Rila dari Cikupa dan Mas Ubid (Kemenakan
dan menantu Mas Jakaria), Kyai Gede, Samini, Pangeran Amir dari Bayuku, Raden
Yintan, Pangeran Lamir dan seorang wanita bernama Sarinem. Peristiwa ini dapat
dikatakan merupakan awal pemberontakan bersenjata yang terkoordinir dengan
mengikutsertakan hampir seluruh daerah di Banten.
Setelah beberapa kali
pertemuan dilakukan, akhirnya Sarientan menetapkan bahwa gerakan akan dimulai
pada tanggal 13 Desember 1845. Dua hari sebelum saat itu, Sarientan disertai
Amier dari kampong Bakuyu melakukan ziarah ke makam Kyai Santri di dekat Kolle.
Ziarah ini dimaksudkan untuk memohon restu dari tokoh tersebut agar gerakan
mereka berhasil dan menambah semangat serta keberanian dan kesaktian dari para
pengikutnya. Menurut informasi yang dipercaya, Kyai Santri adalah anggota
kerabat Zakaria yang menjadi pengikut Sultan Aliudin dalam melawan Raffles pada
tahun 1811. Ia juga terlibat dalam penyerangan terhadap benteng Belanda di
Pandeglang pada tahun 1827 dan beberapa tahun kemudian terbunuh akibat serangan
pasukan Belanda di sana. Sementara putra-putrinya menjadi pengikut Nyi Gamparan
dalam peristiwa penyerangan tanah Cikande tahun 1836.
Setelah kembali dari
ziarah, pada petang hari tanggal 12 Desember 1845, mereka berkumpul di Kampong
Krio dengan membawa senjata lengkap. Jumlah mereka mencapai sekitar 100 orang.
mereka datang dari Cikande Udik, Cikande Ilir dan dari Batavia. Lokasi tempat
itu sekitar 2,5 paal dari rumah Kamphuis dan mereka mulai bergerak ke tempat
itu pada sekitar pukul 4 sore. Setelah magrib, mereka berhenti dalam jarak ¼
paal dari rumah Pes sebelum mencapai rumah Kamphuis. Sasarn pertama mereka
adalah rumah ini, dan dengan seorang kurir yang dikirim untuk mengetuk rumah,
dengan alasan akan mengantar surat. Ketika Pes keluar, mereka segera
menyeretnya dan membunuhnya secara beramai-ramai.
Pola serupa juga
diterapkan pada Kamphuis di rumahnya. Peristiwa di rumah Kamphuis berlangsung
lebih dramatis, karena bukan hanya tuan tanah melainkan juga istrinya dibunuh
oleh rombongan ini. Tiga anak Kamphuis yang berhasil diselamatkan oleh seorang
kepala cutak, Jairun, lewat pintu belakang, disembunyikan di lumbung beras di
tengah kebun. Semantara itu staf tanah partikelir yang tinggal di dekat rumah
yaitu Viering, tidak bisa selamat meskipun berusaha melarikan diri dan dibunuh
oleh mereka ditengah sawah. Namun demikian istrinya, Frederika Rashoorn bersama
dua orang anaknya berhasil lolos dari perhatian massa dan menyusup kebun
sehingga bisa menyebrang jalan masuk kompleks tanah Cikande Hilir. Namun di
tanah itu mereka segera dicegat oleh sekelompok orang dan dibunuh untuk
dirampas hartanya.
Peristiwa itu
berlangsung sepanjang malam dan rumah Kamphuis yang kosong kemudian diduduki
oleh kelompok masyarakat dan dijaga. Salah seorang tuan tanah, Marzam yang
merupakan mandor desa Gerduk, berhasil lolos dan pada saat fajar ia melaporkan
kepada opziener Waubert de Puisseau.
De Puisseau menduga bahwa gerakan perlawanan itu hanya merupakan peristiwa
kecil sehingga hanya denga disertai oleh Marzam dan Madessa, marinyo (utusan) dari Krio, ia berangkat
dan singgah di desa Nyompok. Ia tidak tahun bahwa penduduk Nyompok ikut dalam
perlawanan, sehingga kedatangan de Puisseau di sana segera disambut serangan
warga yang berhasil membunuhnya.
Sementara itu pembantu
rumah tangga Pes, yaitu The Sien dan pembantu de Puisseau, Aliena bersama
seorang budak wanita berhasil lolos karena mereka tidak menjadi sasaran
pembunuhan oleh massa. Ketiganya sampai di Tangerang dan kemudian melaporkan
peristiwa itu kepada aparat di sana. Berita serupa juga didengar oleh tuan
tanah Cikande Hilir Rozij yang kemudian segera berangkat ke Tanara untuk
selanjutnya mengirim laporan kepada residen Buyn di Serang. Dengan laporan ini,
pada sekitar pukul 8 pagi tanggal 13 Desember 1845, residen Buyn dan aparat
pemerintah karesidenan Banten telah mendengar peristiwa tersebut.
Pagi itu juuga residen
Buyn memutuskan untuk berangkat ke Cikande Udik. Ia didampingi oleh perwira
kesehatan A.A Gelpke, patih Serang dan sekitar 20 orang prajurit Jayengsekar di
bawah pimpinan Opperwachtmeester Zillesen.
Setibanya di desa Undar-Andir, residen menemukan bahwa jalan menuju
pesanggrahan Cikande Udik telah dihalangi dengan berbagai cara dan anggota
kelompok perlawanan menunjukan sikap mengancam. Namun rombongan residen terus
bergerak hingga mencapai jarak kira-kira 150 reod dari rumah Kamphuis. Ketika melihat kedatangan residen,
kelompok massa itu segera melakukan serangan hingga melukai komandan Zillesen.
Residen Buyn yang
melihat situasi tidak menguntungkan segera menarik diri dan kembali ke desa
Undar-Andir. Di sana ia menyimpulkan bahwa peristiwa itu bukan hanya merupakan
perampokan biasa tetapi sudah mengarah pada pemberontakan rakyat. Oleh
karenanya dengan meninggalkan Zellisen dan kesatuan Jayengsekar di Undar-Andir,
Buyn kembali ke Serang. Setelah tibanya di Serang, ia berunding dengan komandan
garnisun, komandan Jayengsekar dan Bupati Bantenbagi pengarahan pasukan yang
lebih besar pada hari itu. Bupati diperintahkan membawa pasukan ke Petir untuk
mencegah perluasan perlawanan, sementara para asisten residen di seluruh
karesidenan Banten diperintahkan untuk waspada.
Buyn melihat bahwa
konsentrasi pasukan harus segera dilakukan untuk mematahkan perlawanan. Oleh
karena itu ia bukan hanya memanggil sejumlah kesatuan dari Pandeglang dan
Anyer, namun juga meminta bantuan dari para pelaut Bugis yang bermukim di Pulau
Panjang untuk bergabung dalan pasukan yang akan dikirim ke Cikande Udik. Di
samping itu juga Buyn menyiapkan peralatan sejumlah perahu dan kapal di laut
yang akan mencegat pelarian gerakan perlawanan kea rah pantai. Buyn, yang
khawatir bahwa berita peristiwa itu dengan cepat akan memotivasi pergolakan di
tempat lain, mengirimkan laporan kepada pemerintah pusat dan residen Batavia
yang diterima pada tanggal 14 Desember 1845.
Sementara itu pesanggrahan
Cikande Udik, para pemimpin perlawanan segera mewujudkan rencana mereka dengan
menegakan struktur pemerintahan baru. Sejumlah tokoh yang terlibat langsung
dalam pembunuhan orang-orang Belanda diberi gelar dan kedudukan, sementara
tujuan perlawanan mereka kini diperluas bukan hanya membebaskan rakyat dari
penderitaan melainkan juga semangat jihad untuk mengusir semua orang kafir dari
tanah Banten. Untuk meningkatkan kepercayaan dan pengaruhnya, sejumlah jimat
dan mantra dibagikan kepada anggota perlawanan dengan keyakinan mereka tidak
akan mempan terkena senjata lawan. Jumlah mereka juga telah bertambah dari
sekitar 300 menjadi 600 orang sebagai akibat dari kedatangan massa di luar
Cikande.
Buyn membawa seluruh
kekuata yang ada di Serang ke Undar-Andir dan mereka tiba pada pukul 11 malam
tanggal 13 Desember 1845. Kekuatan yang dibawa Buyn terdiri atas kapten Buyn
sebagai komandan, letnan infanteri Fytsen, 45 orang serdadu dari kompi ke-2,
batalyon ke-13 dan 3 pucuk Meriam. Bersama mereka juga tiba sekitar 30 orang
anggota Jayengsekar di bawah komandan letnan Zetstra. Pasukan ini diperkuat
oleh beberapa orang kepala pribumi setempat yang membawa sekitar 50 orang
serdadunya. Setelah mata-mata dikirm untuk memantau situasi dan kembali
melaporkan hasilnya, pada pukkul 4 subuh tanggal 14 Desember 1845 kesatuan ini
mulai bergerak menuju pesanggrahan Cikande Udik yang dipimpin oleh kapten Buys
sementara residen Buyn mengikutinya.
Setelah menyebrangi
parit yang mengelilinginya, pasukan memasuki lokasi pesanggarahn. Letnan
Zetstra dan kesatuan Jayengsekar memulai penyerangan terhadap gerombolan massa.
Sebelum Zetstra bergerak, tiga pucuk Meriam di bawah komando Sersan Pauly
melepaskan tembakan untuk menghancurkan barikade yang merintangi halaman.
Perlawanan berlangsung singkat, karena anggota massa yang menduga dirinya kebal
menyongsong tembakan pasukan Belanda. Akibatnya banyak korban yang jatuh dan
merekayang berhasil selamat atau terluka menyadari bahwa kesaktian yang
dijanjikan ternyata tidak ada dan segera melarikan diri.
Selama hari itu residen
Buyn memerintahkan Kapten Buys agar mengejar anggota yang melarikan diri dan
dilakukan penangkapan. Selama beberapa hari proses pencarian dan penangkapan
berlangsung sehingga diketahui terdapat 384 orang yang masih hidup dan terluka
sebagai pelaku gerakan perlawanan. Dalam pemeriksaan bisa diketahui bahwa di
antara mereka yang tertangkap ada seorang wanita tua, yang dianggap sebagi
tokoh sakti dan dihormati di antar mereka. Dari introgasi yang dilakuka
terhadap dirinya, diketahui bahwa ia bernama Sebu Gompara Nyai Perbeta, ibu
dari Nyai Gompara atau Nyi Gamparan yang menjadi tokoh dalam peristiwa tahun
1836. Sementara itu pada tanggal 15 Agustus 1846, pengadilan Lebak menjatuhkan
hukuman mati kepada 25 orang yang dianggap ikut bersalah melakukan pembunuhan
dan 134 dijatuhkan hukuman pembuangan demgan bekerja paksa selama beberapa
tahun. Sementara itu 41 orang dibebaskan setelah dianggap tidak terlibat dalam
gerakan ini.
Setelah perlawanan ini
berhasil dipadamkan, perdebatan segera terjadi di kalangan para pejabat
kolonial. Beberapa pengamat menilai bahwa penyebab perlawanan ini adalah
eksploitasi yang berlebihan dan berujung kepada kesalahan pemerintah yang
menetapkan kuota pasokan seperti pada aturan Kultuurstelsel. Pengamat lain yang besebrangan dengan pandangan ini
berdalih bahwa bukan eksploitasi melainkan semangat jihad yang mendorong
orang-orang ini memberontak, termasuk juga dendam pribadi seperti para mandor
yang dipecat. Keinginan untuk membunuh semua orang Kristen dan orang Belanda
menjadi bukti dari dugaan mereka tentang gerakan perlawanan ini.
Kesimpulan
Pemberontakan ini
dipicu oleh ketidakpuasan akan struktur yang ada yaitu kesulitan hidup yang
bersumber dari kebijakan-kebijakan tuan tanah partikelir yang mendominasi.
Tingkat eksploitasi yang dilakukan tuan tanah cikande udik yang melebihi batas
menjadi pemicu pergerakan dan akhirnya membuat ketidakstabilan.
Korban-korban berjatuhan dari pihak
Belanda maupun para Pribumi, pemberontakan heroik ini menjadi suatu pengajaran
yang dapat diambil nilai perjuangan orang-orang Banten yang tidak ingin disiksa
oleh kebijakan-kebijakan tanah partikelir yang melebihi batas, kesadaran mereka
akan harus adanya suatu perubahan struktur menjadi semangat yang berkobar untuk
melepaskan diri dari belenggu rezim kolonial Belanda.
Daftar
Pustaka
Hakim, Lukman. 2006. Banten dalam Perjanan Jurnalistik. Pandeglang: Banten Heritage
Lubis, Nina H. 2004. Banten dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama, Jawara. Jakarta:
Pustaka LP3ES Indonesia
Marihandono, Djoko dan Harto Juwono. 2014. BANTEN: SEBAGAI SUMBER POTENSI HEROIK DI
NUSANTARA. Serang: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Banten
Posting Komentar