GERAKAN SOSIAL PEMBERONTAKAN PETANI CIKANDE UDIK DALAM MENENTANG KEBIJAKAN TANAH PARTIKELIR DI KABUPATEN SERANG TAHUN 1845


Ditulis Oleh: Ismi Novianti
(Mahasiswa Pendidikan Sejarah Angkatan 2018)

Abstrak

Peristiwa heroik cikande udik mungkin jarang terdengar ataupun baru didengar oleh sebagian orang di negeri ini. Ketika masa kolonialisme di Indonesia, Banten menjadi salah satu daerah destinasi penjajah untuk dieksploitasi hasil alamanya. Telah lama Banten dikenal dengan kesuburan tanahnya dan kemakmuran penduduknya, dapat dilihat hingga saat ini ketika mulai memasuki daerah provinsi Banten hamparan sawah menyambut yang terbentang disisi kiri dan kanan jalan. Salah satu daerah dengan hasil pertanian yaitu di daerah Cikande, Cikande adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Serang, Provinsi Banten, Indonesia.

Pada masa kolonial, Belanda menguasai daerah titik-titik urat nadi masyarakat Banten. Di Banten pula terdapat karesidenan sehingga mempermudah pemerintah kolonial Hindia-Belanda untuk mengawasi dan mengatur pemerintahan yang ada di Banten. Di cikande sendiri, pada masa Kolonial Belanda terdapat perkebunan Cikande Udik yaitu lahan pertanian partikelir milik P.J Kamphuis. Malapetaka tidak dapat dihindari dan memakan banyak korban baik dari pihak Belanda maupun pihak Pribumi. Hal ini terjadi disebabkan oleh ketidakpuasan akan struktur yang ada dimana tuan tanah menerapkan kebijakan yang merugikan bagi pribumi, perisitiwa heroic ini terjadi di perkebuan Cikande Udik, Kabupaten Serang pada 13 Desember 1845. Menurut Luman Hakim dalam bukunya Banten dalam Perjalanan Juralis, Pemberontakan di Cikande Udik pernah dimuat dalam koran Javasche Courant 14 Januari 1846 dan dalam surat resmi residen Banten 30 Januari 1846. Laporan residen Bruijn tahun 1859. Catatan Nina Lubis dalam bukunya pun membahas mengenai peristiwa pemberontakan yang heroik ini.

 

Kata Kunci : Pemberontakan, Tanah Partikelir, Cikande Udik.

 

A.    Latarbelakang

Peristiwa yang melanda tanah partikelir Cikande sebagai akibat dari gerakan perlawanan Nyi Gamparantahun 1836 telah membawa pengaruh besar dalam hal perubahan kepemilikan tanah. Akan tetapi dampak kerusuhan yang terjadi pada tahun 1845, terutam di Cikande Udik. Peristiwa ini jauh lebih besar dan mempunyai pengaruh yang lebih luas dibandingkan peristiwa tahun 1836, bahkan berita tentang kerusuhan ini mencapai Den Haag dan mendorong seorang Gubernur Jendral untuk memberikan penjelasan. Bagi pemerintah Belanda, dampak menggemparkan ini terjadi karena korban yang jatuh termasuk juga beberapa orang Belanda yaitu tuan tanah Cikande udik dan keluarganya. Di samping itu, ada kecuringaan behawa pelaku kerusuhan tahun 1845 masih memiliki hubungan kerabat dan pengaruh dari tokoh kerusuhan tahun 1836 yaitu Nyi Gamparan.

Sejak dilepaskan oleh pemiliknya pada tahun 1836, perkembangan pesat dialami oleh tanah-tanah ini. Para pemilik yang baru, dengan jaminan keamanan dari aparat pemerintah dan harapan untuk memasok produk tanaman lebih besar, memaksimalkan produk kedua tanah tersebut. Dalam catatan pemerintah selama beberapa tahun setelah penjualan, tanah Cikande Udik mampu menghasilkan produk empat kali lipat dari hasil produksi yang dicapai sebelum tanah ini dijual. Sementara itu Cikande Hilir dapat memasok 20 ribu pikul beras. Meskipun prioritas utama dalam hal penanaman di kedua tanah ini bukan merupakan komoditi ekspor melainkan tanaman pangan, hasil produksi diatas memiliki nilai yang tinggi untuk memasok tanaman pangan bagi kebutuhan pemerintah dan penduduk sehingga mencegah terjadinya potensi kelaparan selama Culture Stelsel di daerah itu.

Tanah Cikande Udik telah dijual kepada Tan Keng Bun setelah peristiwa kerusuhan tahun 1836. Namun tampaknya Tan tidak lama memilikinya dan melepaskannya kembali. Ia menenmukan pembeli seorang Belanda bernama P.S.J Kamphuis. Dalam pengelolaan tanah ini, Kamphuis tinggal di pesanggrahan bersama keluarganya. Di sana ia juga membangun sturuktur managemen yang bertugas mengatur dan mengawasi kinerja penduduk demi keuntungan maksimal yang dihasilkan dari tanah partikelir tersebut. Untuk itu ia mengangkat seorang administrator bernama Pes, yang ebrtugas menjadi menager pimpinan dari staf bawahannya, yang sebagian besar terdiri atas orang-orang eropa. Di antara mereka yang tercatatat sebagai pengawas adalah Viering dan Waubert de Pasau. Mereka juga tinggal di tanah ini bersama keluarganya dan menempati kompleks bangunan di sekitar pesanggrahan milik Kamphuis.

Meskipun dalam laporan, Kamphuis adalah sosok tuan tanah yang baik dan penuh perhatian kepada penduduk yang tinggal di tanah partikelirnya, administratornya Pes dianggap berbeda dengan sifat tingkah laku tuan tanahnya. Pes bermaksud untk memaksimalkan produktivitas tanah tersebut dengan menerapkan managemen target kuota hasil bumi yang bisa dijual. Untuk itu pada pertengahan tahun 1845, Pes menerbitkan sebuah peraturan baru yang diberlakukan dalam pengelolaan tanah partikelir Cikande Udik. Peraturan itu adalah penetapan luas persegi tanah yang baru, menetapkan daya produksi tertentu dan memungut 1/5 dari hasil yang diperolehnya. Berdasarkan ketentuan ini, klasifikasi jenis tanah dan hasilnya ditetapkan sebagai berikut:

1.      Sawah kelas-1                         3 ¾ caing

2.      Sawah kelas-2                         2 ½ caing

3.      Tanah lain                                1 ¼ caing

Semua jumlah di atas ditetapkan per bahu.

Jumlah tersebut dianggap terlalu tinggi, dan hanya bisa dicapai pada saat panen padi sangat berhasil dan produksinya berlimpah. Hal ini didasarkan pada rata-rata hasil panen pai selama tahun-tahun sebelumnya, yang tercatata sebagai berikut

1.      Sawah kelas-1             2 caing

2.      Sawah kelas-2             1 ¼ caing

3.      Tanah lain                    ¾ caing

Tentu saja peraturan baru yang dikeluarkan itu menimbulkan keresahan di antara penduduk, yang tkut bahwa kuota di atas tidak tercapai dan mereka akan menderita hukuman dari tuan tanah. Sementara itu bagi Pes, pertimbangan utamanya adalah peristiwa kegagalan panen pada pertengahan tahun 1844, yang mengakibatkan tanah partikelir ini harus mengimpor beras dari daerah lain. Akan tetapi kegagalan panen itu bukan hanya terjadi di tanah itu melainkan juga melanda seluruh Karesidenan Banten karena musim kemarau yang panjang.

B.     Kronologi

Sementara itu pada pertengahan tahun 1845 panen raya yang berhasil terjadi di Karesidenan Banten, sehingga karesidenan ini menjadi pemasok beras yang diharapkan untuk wilayah lain, terutama di Jawa Timur, yang menerima giliran mengalami paceklik. Penjualan beras dari Banten ke Jawa Timur dimungkinkan setelah danya perbaikan jalan sepanjang aliran Cidurian hingga Tanara, yang menekan biayan produksi. Dari permintaan yang tinggi ini, penjualan beras keluar Banten menjadi transaksi yang sangat menguntungkan. Hal ini menjadi alasan bagi Pes untuk memaksimalkan produksi padi dengan tujuan menutup deficit yang ditimbulkan akibat paceklik pada tahun sebelumnya.

Tindakan Pes untuk mencapai kuota seperti yang dimaksudkan di atas dilakukan juga dari sisi yang lain. Ketika Pes menyadari bahwa terwujudnya kuota itu akan mengakibatkan semua beras hilang dari Cikande Udik dan penduduk akan mengalami kesulitan pangan seperti pada tahun sebelumnya, ia mengambil langkah lain yaitu dengan manaikan cuke dengan alasan untuk menutup pajak penduduk terhadap pemerintah yang dibayar lewat tuan tanah (belasting). Dengan kenaikan cuke, diharapkan hasil dari penjualan kuota padi ini bisa terpenuhi. Namun kenyataan muncul bahwa mengingat hanya ada satu sumber produksi, yaitu sawah atau tanah yang ditanami padi, perbedaan antara cuke dan penyetoran wajib panen padi manjadi kabur. Tidak ada lagi yang bisa diketahui padi mana yang disetorkan sebagai cuke dan yang dijadikan sebagai kuota panen. Untuk itu Pes memutuskan bahwa harta penduduk seperti hewan ternak bisa digunakan sebagai cuke, termasuk kerbau yang difungsikan untuk membajak sawah.

Kondisi di atas tentu saja menimbulkan keresahan sosial, karena merasa bahwa beban terlalu berat harus mereka pikul. Upaya untuk mencapai kesepakatan yang dilakukan oleh kepala desa sebagai wakil penduduk dan pihak tanah partikelir tidak terwujud. Lewat para penguasanya, kepala cutak dan petugas keamanan (Centeng), Pes memerintahkan penarikan cuke dan hasil panen. Jika keduanya tidak bisa dipenuhi, para petugas itu diberi wewenang mengangkut benda apapun yang ditemukan di rumah penduduk dan penghuninya diusir dari tanah partikelir.

Ketika kepala desa juga tidak mampu melawan keinginan Pes, penduduk mulai resah dan mencari orientasi solusi masalahnya. Kali ini, menemukannya pada seorang tokoh informal yang memiliki pengaruh karena dianggap sebagai sosok yang sakti dan masih memiliki leluhur yang berkaitan dengan penguasa Banten Lama. Dia adalah bapak Sarientan, yang tinggal di dusun Rangkaskole, desa Gerduk, Cikande Udik. Pada bulan April-Mei 1845, Bapa Sarientan tinggal di Batavia dan baru kembali di Cikande Udik pda akhir bulan itu. Kedatangannya disambut baik oleh masyarakat yang mendambakan nasihat dari dirinya sebagai sosok guru dan dukun yang mempunyai kesaktian dan kesucian.

Ketika mendengar laporan dari penduduk, Bapak Sarientan mengatakan bahwa satu-satunya penyelesain bagi kondisi buruk ini adalah melakukan pemberontakan. Untuk itu ia kemudian menghubungi rekan-rekannya yang tinggal di sejumlah desa baik di Cikande Udik maupun di tanah lain bahkan hingga ke Batavia Ommelanden. Dari hasil komunikasinya, pada bulan September 1845 orang-orang yang dihubungi seperti Mas Sahad dan Bapa Sapingie dari tanah Ketapang, di Batavia dan Mas Ubid dari desa Pamarayang. Dalam pertemuan ini, bukan hanya rencana perlawanan yang disusun melainkan juga struktur baru yang akan ditegakan setelah perlawanan berhasil dimenangkan. Dalam struktur itu, suatu tatanan baru akan dibuat yang akan memerintah tanah Cikande Udik sehingga beberapa orang tokoh masyarakat yang terlibat kemudian diberi gelar-gelar kedudukan seperti Kyai dan Kyai Gede.

Di antara mereka yang dilibatkan oleh Sarientan, juga beberapa orang mandor yang pada tahun 1836 ikut terlibat dalam gerakan Nyi Gamparan. Penarikan mandor-mandor ini dilakukan dengan tujuan merekrut anak buahnya juga ke dalam gerakan perlawanan dan juga didasarkan pada pertimbangan bahwa banyak mandor ini yang tidak puas akibat gaji mereka tidak dinaikan sejak hampir sepuluh tahun sehingga mereka merasa harus membat perhitungan dengan tuan tanah. Menurut Sartono Kartodirdjo dalam bukunya tahun 1985, beberapa pemimpin pemberontakan yang dikenal dalam peristiwa ini ialah, Mas Endong, Mas Rila dari Cikupa dan Mas Ubid (Kemenakan dan menantu Mas Jakaria), Kyai Gede, Samini, Pangeran Amir dari Bayuku, Raden Yintan, Pangeran Lamir dan seorang wanita bernama Sarinem. Peristiwa ini dapat dikatakan merupakan awal pemberontakan bersenjata yang terkoordinir dengan mengikutsertakan hampir seluruh daerah di Banten.

Setelah beberapa kali pertemuan dilakukan, akhirnya Sarientan menetapkan bahwa gerakan akan dimulai pada tanggal 13 Desember 1845. Dua hari sebelum saat itu, Sarientan disertai Amier dari kampong Bakuyu melakukan ziarah ke makam Kyai Santri di dekat Kolle. Ziarah ini dimaksudkan untuk memohon restu dari tokoh tersebut agar gerakan mereka berhasil dan menambah semangat serta keberanian dan kesaktian dari para pengikutnya. Menurut informasi yang dipercaya, Kyai Santri adalah anggota kerabat Zakaria yang menjadi pengikut Sultan Aliudin dalam melawan Raffles pada tahun 1811. Ia juga terlibat dalam penyerangan terhadap benteng Belanda di Pandeglang pada tahun 1827 dan beberapa tahun kemudian terbunuh akibat serangan pasukan Belanda di sana. Sementara putra-putrinya menjadi pengikut Nyi Gamparan dalam peristiwa penyerangan tanah Cikande tahun 1836.

Setelah kembali dari ziarah, pada petang hari tanggal 12 Desember 1845, mereka berkumpul di Kampong Krio dengan membawa senjata lengkap. Jumlah mereka mencapai sekitar 100 orang. mereka datang dari Cikande Udik, Cikande Ilir dan dari Batavia. Lokasi tempat itu sekitar 2,5 paal dari rumah Kamphuis dan mereka mulai bergerak ke tempat itu pada sekitar pukul 4 sore. Setelah magrib, mereka berhenti dalam jarak ¼ paal dari rumah Pes sebelum mencapai rumah Kamphuis. Sasarn pertama mereka adalah rumah ini, dan dengan seorang kurir yang dikirim untuk mengetuk rumah, dengan alasan akan mengantar surat. Ketika Pes keluar, mereka segera menyeretnya dan membunuhnya secara beramai-ramai.

Pola serupa juga diterapkan pada Kamphuis di rumahnya. Peristiwa di rumah Kamphuis berlangsung lebih dramatis, karena bukan hanya tuan tanah melainkan juga istrinya dibunuh oleh rombongan ini. Tiga anak Kamphuis yang berhasil diselamatkan oleh seorang kepala cutak, Jairun, lewat pintu belakang, disembunyikan di lumbung beras di tengah kebun. Semantara itu staf tanah partikelir yang tinggal di dekat rumah yaitu Viering, tidak bisa selamat meskipun berusaha melarikan diri dan dibunuh oleh mereka ditengah sawah. Namun demikian istrinya, Frederika Rashoorn bersama dua orang anaknya berhasil lolos dari perhatian massa dan menyusup kebun sehingga bisa menyebrang jalan masuk kompleks tanah Cikande Hilir. Namun di tanah itu mereka segera dicegat oleh sekelompok orang dan dibunuh untuk dirampas hartanya.

Peristiwa itu berlangsung sepanjang malam dan rumah Kamphuis yang kosong kemudian diduduki oleh kelompok masyarakat dan dijaga. Salah seorang tuan tanah, Marzam yang merupakan mandor desa Gerduk, berhasil lolos dan pada saat fajar ia melaporkan kepada opziener Waubert de Puisseau. De Puisseau menduga bahwa gerakan perlawanan itu hanya merupakan peristiwa kecil sehingga hanya denga disertai oleh Marzam dan Madessa, marinyo (utusan) dari Krio, ia berangkat dan singgah di desa Nyompok. Ia tidak tahun bahwa penduduk Nyompok ikut dalam perlawanan, sehingga kedatangan de Puisseau di sana segera disambut serangan warga yang berhasil membunuhnya.

Sementara itu pembantu rumah tangga Pes, yaitu The Sien dan pembantu de Puisseau, Aliena bersama seorang budak wanita berhasil lolos karena mereka tidak menjadi sasaran pembunuhan oleh massa. Ketiganya sampai di Tangerang dan kemudian melaporkan peristiwa itu kepada aparat di sana. Berita serupa juga didengar oleh tuan tanah Cikande Hilir Rozij yang kemudian segera berangkat ke Tanara untuk selanjutnya mengirim laporan kepada residen Buyn di Serang. Dengan laporan ini, pada sekitar pukul 8 pagi tanggal 13 Desember 1845, residen Buyn dan aparat pemerintah karesidenan Banten telah mendengar peristiwa tersebut.

Pagi itu juuga residen Buyn memutuskan untuk berangkat ke Cikande Udik. Ia didampingi oleh perwira kesehatan A.A Gelpke, patih Serang dan sekitar 20 orang prajurit Jayengsekar di bawah pimpinan Opperwachtmeester Zillesen. Setibanya di desa Undar-Andir, residen menemukan bahwa jalan menuju pesanggrahan Cikande Udik telah dihalangi dengan berbagai cara dan anggota kelompok perlawanan menunjukan sikap mengancam. Namun rombongan residen terus bergerak hingga mencapai jarak kira-kira 150 reod dari rumah Kamphuis. Ketika melihat kedatangan residen, kelompok massa itu segera melakukan serangan hingga melukai komandan Zillesen.

Residen Buyn yang melihat situasi tidak menguntungkan segera menarik diri dan kembali ke desa Undar-Andir. Di sana ia menyimpulkan bahwa peristiwa itu bukan hanya merupakan perampokan biasa tetapi sudah mengarah pada pemberontakan rakyat. Oleh karenanya dengan meninggalkan Zellisen dan kesatuan Jayengsekar di Undar-Andir, Buyn kembali ke Serang. Setelah tibanya di Serang, ia berunding dengan komandan garnisun, komandan Jayengsekar dan Bupati Bantenbagi pengarahan pasukan yang lebih besar pada hari itu. Bupati diperintahkan membawa pasukan ke Petir untuk mencegah perluasan perlawanan, sementara para asisten residen di seluruh karesidenan Banten diperintahkan untuk waspada.

Buyn melihat bahwa konsentrasi pasukan harus segera dilakukan untuk mematahkan perlawanan. Oleh karena itu ia bukan hanya memanggil sejumlah kesatuan dari Pandeglang dan Anyer, namun juga meminta bantuan dari para pelaut Bugis yang bermukim di Pulau Panjang untuk bergabung dalan pasukan yang akan dikirim ke Cikande Udik. Di samping itu juga Buyn menyiapkan peralatan sejumlah perahu dan kapal di laut yang akan mencegat pelarian gerakan perlawanan kea rah pantai. Buyn, yang khawatir bahwa berita peristiwa itu dengan cepat akan memotivasi pergolakan di tempat lain, mengirimkan laporan kepada pemerintah pusat dan residen Batavia yang diterima pada tanggal 14 Desember 1845.

Sementara itu pesanggrahan Cikande Udik, para pemimpin perlawanan segera mewujudkan rencana mereka dengan menegakan struktur pemerintahan baru. Sejumlah tokoh yang terlibat langsung dalam pembunuhan orang-orang Belanda diberi gelar dan kedudukan, sementara tujuan perlawanan mereka kini diperluas bukan hanya membebaskan rakyat dari penderitaan melainkan juga semangat jihad untuk mengusir semua orang kafir dari tanah Banten. Untuk meningkatkan kepercayaan dan pengaruhnya, sejumlah jimat dan mantra dibagikan kepada anggota perlawanan dengan keyakinan mereka tidak akan mempan terkena senjata lawan. Jumlah mereka juga telah bertambah dari sekitar 300 menjadi 600 orang sebagai akibat dari kedatangan massa di luar Cikande.

Buyn membawa seluruh kekuata yang ada di Serang ke Undar-Andir dan mereka tiba pada pukul 11 malam tanggal 13 Desember 1845. Kekuatan yang dibawa Buyn terdiri atas kapten Buyn sebagai komandan, letnan infanteri Fytsen, 45 orang serdadu dari kompi ke-2, batalyon ke-13 dan 3 pucuk Meriam. Bersama mereka juga tiba sekitar 30 orang anggota Jayengsekar di bawah komandan letnan Zetstra. Pasukan ini diperkuat oleh beberapa orang kepala pribumi setempat yang membawa sekitar 50 orang serdadunya. Setelah mata-mata dikirm untuk memantau situasi dan kembali melaporkan hasilnya, pada pukkul 4 subuh tanggal 14 Desember 1845 kesatuan ini mulai bergerak menuju pesanggrahan Cikande Udik yang dipimpin oleh kapten Buys sementara residen Buyn mengikutinya.

Setelah menyebrangi parit yang mengelilinginya, pasukan memasuki lokasi pesanggarahn. Letnan Zetstra dan kesatuan Jayengsekar memulai penyerangan terhadap gerombolan massa. Sebelum Zetstra bergerak, tiga pucuk Meriam di bawah komando Sersan Pauly melepaskan tembakan untuk menghancurkan barikade yang merintangi halaman. Perlawanan berlangsung singkat, karena anggota massa yang menduga dirinya kebal menyongsong tembakan pasukan Belanda. Akibatnya banyak korban yang jatuh dan merekayang berhasil selamat atau terluka menyadari bahwa kesaktian yang dijanjikan ternyata tidak ada dan segera melarikan diri.

Selama hari itu residen Buyn memerintahkan Kapten Buys agar mengejar anggota yang melarikan diri dan dilakukan penangkapan. Selama beberapa hari proses pencarian dan penangkapan berlangsung sehingga diketahui terdapat 384 orang yang masih hidup dan terluka sebagai pelaku gerakan perlawanan. Dalam pemeriksaan bisa diketahui bahwa di antara mereka yang tertangkap ada seorang wanita tua, yang dianggap sebagi tokoh sakti dan dihormati di antar mereka. Dari introgasi yang dilakuka terhadap dirinya, diketahui bahwa ia bernama Sebu Gompara Nyai Perbeta, ibu dari Nyai Gompara atau Nyi Gamparan yang menjadi tokoh dalam peristiwa tahun 1836. Sementara itu pada tanggal 15 Agustus 1846, pengadilan Lebak menjatuhkan hukuman mati kepada 25 orang yang dianggap ikut bersalah melakukan pembunuhan dan 134 dijatuhkan hukuman pembuangan demgan bekerja paksa selama beberapa tahun. Sementara itu 41 orang dibebaskan setelah dianggap tidak terlibat dalam gerakan ini.

Setelah perlawanan ini berhasil dipadamkan, perdebatan segera terjadi di kalangan para pejabat kolonial. Beberapa pengamat menilai bahwa penyebab perlawanan ini adalah eksploitasi yang berlebihan dan berujung kepada kesalahan pemerintah yang menetapkan kuota pasokan seperti pada aturan Kultuurstelsel. Pengamat lain yang besebrangan dengan pandangan ini berdalih bahwa bukan eksploitasi melainkan semangat jihad yang mendorong orang-orang ini memberontak, termasuk juga dendam pribadi seperti para mandor yang dipecat. Keinginan untuk membunuh semua orang Kristen dan orang Belanda menjadi bukti dari dugaan mereka tentang gerakan perlawanan ini.

 

Kesimpulan

Pemberontakan ini dipicu oleh ketidakpuasan akan struktur yang ada yaitu kesulitan hidup yang bersumber dari kebijakan-kebijakan tuan tanah partikelir yang mendominasi. Tingkat eksploitasi yang dilakukan tuan tanah cikande udik yang melebihi batas menjadi pemicu pergerakan dan akhirnya membuat ketidakstabilan.

Korban-korban berjatuhan dari pihak Belanda maupun para Pribumi, pemberontakan heroik ini menjadi suatu pengajaran yang dapat diambil nilai perjuangan orang-orang Banten yang tidak ingin disiksa oleh kebijakan-kebijakan tanah partikelir yang melebihi batas, kesadaran mereka akan harus adanya suatu perubahan struktur menjadi semangat yang berkobar untuk melepaskan diri dari belenggu rezim kolonial Belanda.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

 

Hakim, Lukman. 2006. Banten dalam Perjanan Jurnalistik. Pandeglang: Banten Heritage

Lubis, Nina H. 2004. Banten dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama, Jawara. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia

Marihandono, Djoko dan Harto Juwono. 2014. BANTEN: SEBAGAI SUMBER POTENSI HEROIK DI NUSANTARA. Serang: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Banten

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama