Dibuat oleh Fauzan Daffa Mutaqin, Mahasiswa Pendidikan Sejarah (2022)
Gambar: Seorang Penabuh yang memainkan gamelan Sekaten
Pengaruh
penyebaran agama Islam daerah Jawa yang paling terlihat dari hasilnya dapat
didasarkan pada kesuksesan para Wali Songo dengan gencarnya melakukan dakwah
diberbagai penjuru Jawa. Para wali menggunakan seluruh usaha dan juga pikiran
mereka untuk menguatkan jati diri Islam di Jawa dengan berbagai cara, dan salah
satu dari mereka menggunakan unsur budaya dalam dakwaknya, orang itu adalah Sunan
Kalijaga yang tidak jarang menggunakan unsur budaya dalam usaha dakwaknya
terutama di daerah Mataram Islam yang nantinya akan menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kesultanan Surakarta.
Dalam semua usaha Sunan Kalijaga menyebarkan Islam di Surakarta yang paling menarik adalah menggunakan Gamelan dalam dakwahnya. Dimana kita ketahui cara tersebut sangat efektif dalam penyebaran agama Islam seperti virus corona yang sangat cepat mempengaruhi badan manusia, hal ini sama terjadi disaat penyebaran tersebut terutama di Surakarta. Sunan Kalijaga menggunakan budaya untuk menyebarkan ajaran agama islam di Kesultanan Surakarta, dan salah satu caranya adalah menggunakan Gamelan Sekaten yang merupakan warisan dari Kerajaan Mataram Islam.
Gamelan Sekaten
Berdasarkan cerita yang sudah berkembang
dikalangan masyarakat mengatakan bahwa gamelan Sekaten tidak bisa terlepas dalam peranan penyebaran
agama Islam di kerajaan-kerajaan Islam pada jaman wali. Seperti yang diketahui,
dahulu agama Hindu dan Budha merupakan agama yang mendominasi, dan di kalangan
masyarakat Jawa sendiri menggunakan gamelan juga budaya lainnya sebagai sarana
ritual
Gamelan Sekaten sendiri dapat diketahui telah
digunakan untuk menyebarkan Islam sejak lama, yaitu sejak zaman Kesultanan
Demak. Hal ini diprakarsai oleh sembilan penasehat Islam Sultan Demak I, jika
melihat sumber -sumber yang ada gamelan Sekaten ini menunjukan awal periodesasi
abad ke 16
Pada masa Mataram awal di bawah pemerintahan
Panembahan Senapati dan Panembahan Seda Krapyak gamelan Sekaten juga belum
terlihat eksistensinya. Hal ini berkaitan dengan status Panembahan Senapati dan
Panembahan Seda Krapyak yang menggunakan gelar panembahan. Dari hal ini
menyebutkan bahwa gelar panembahan sebenarnya tidaklah setinggi gelar raja pada
umumnya dan gamelan Sekaten sendiri adalah instrumen khusus milik raja dan
melambangkan kekuatan mereka (Sunarto, 2005) Kedua panembahan itu takut
menggunakannya karena mereka tahu itu hanya untuk raja bukan untuk panembahan
seperti mereka.
Gamelan Sekaten baru menampakkan eksistensinya
lagi pada masa pemerintahan Sultan Agung, raja terbesar Mataram
“rerenggan wowohan tinata ing wadhah”
yang menunjukkan angka tahun 1566
Paku Buwana IV sendiri membuat gamelan Sekaten dengan volume dan
ketebalan bentuk yang lebih besar dibandingkan dengan Kanjeng Kyai Guntur Sari
yang diberi nama Kanjeng Kyai Guntur Maclu
a. Satu rancak bonang yang
terdiri dari ricikan bonang dan panembung, ditabuh oleh dua atau tiga orang
pengrawit (musisi).
b. Dua rancak demung,
setiap demung ditabuh oleh seorang pengrawit.
c. Empat rancak saron
barung, setiap rancak ditabuh seorang pengrawit.
d. Dua rancak saron
penerus, ditabuh masing masing oleh seorang pengrawit.
e. Satu rancak kempyang,
ditabuh oleh seorang pengrawit.
f. Sepasang atau dua buah
gong besar, ditabuh oleh seorang pengrawit.
g. Sebuah bedhug yang digantung pada satu gayor, ditabuh oleh seorang pengrawit.
Dampak Sosial
Ide penyebaran agama Islam dengan gamelan
Sekaten merupakan sebuah gagasan yang sangat membumi, dalam hal ini Sunan Kalijaga
sangat memahami kondisi sosial psikologis masyarakat Jawa pada saat itu. Hal
inilah yang menyebabkan karaton menjadi pusat pemerintahan dan aktivitas
keagamaan serta pusat pengembangan budaya
Salah satu bentuk pengembangan budaya yang
berasal dari karaton adalah gamelan Sekaten. Dalam implementasinya gamelan sekaten
sangat berkaitan dengan kepercayaan bahwa benda-benda
pusaka, hal semacam itu tidak dapat dipisahkan dari raja karena gamelan Sekaten
merupakan salah satu pusaka kepraboning nata atau simbol keagungan seorang
raja. Dengan adanya benda-benda pusaka itu maka kepercayaan rakyat terhadap
raja akan tetap terjaga
Seperti telah disebutkan di atas bahwa ide
penyebaran agama Islam dengan gamelan Sekaten dikemukakan oleh Sunan Kalijaga
dalam sebuah pertemuan para wali. Pradjapangrawit mencatat informasi seputar
ide penggunaan gamelan Sekaten dalam penyebaran agama Islam berdasarkan gotek
atau sumber oral, ide Sunan Kalijaga itu selengkapnya adalah sebagai berikut:
...Murih tumunten kasembadan ing sedya, kedah
mawi sarana angawonteni kabudayan Jawi ingkang dipun karemi ing tetiyang Jawi; kaanggep
pusaka Jawi, inggih punika gangsa. Angawonteni gangsa ingkang dipun pasang wonten
ing sacelaking masjid, katabuh ingkang seru sanget, supados kamirengan saking katebihan.
Langkung-langkung ingkang mboten tebih, saged mireng cetha sanget. Mesthi
kathah tetiyang Jaw ingkang sami mara, dhateng aningali utawi mirengaken gangsa
wau. Amargi sampun sawatawis mboten sami mirengaken gangsa ingkang dipun
karemi sanget, kaanggep pusaka Jawi
ingkang sakalangkung pinundhi-pundhi. Lha ing ngriku punika panggenanipun
nandukaken daya sarana ingkang sae sanget
(...Agar segera tercapai tujuannya harus menggunakan sarana kebudayaan Jawa yang sangat disenangi orang Jawa, dianggap pusaka Jawa, yaitu gamelan. Kemudian gamelan tersebut ditabuh di dekat masjid dengan volume yang sangat keras supaya terdengar dari kejauhan. Lebihlebih yang berada di dekatnya dapat mendengarkan dengan jelas sekali. Bisa dipastikan banyak orang Jawa yang datang melihat atau mendengarkan gamelan. Karena sudah agak lama mereka. tidak mendengarkan gamelan yang menjadi kesenangan orang Jawa, dianggap pusaka yang sangat dihargai. Di situlah tempat dan sarana yang sangat bagus sekali.)
Ide penggunaan gamelan Sekaten sebenarnya
merupakan jawaban atas kendala yang muncul di lapangan ketika para wali melakukan
penyebaran Islam. Setting masyarakat
Jawa pada saat itu masih memiliki keyakinan yang sangat kuat terhadap agama Hindu
dan Budha sehingga diperlukan alat bantu dalam hal ini gamelan Sekaten untuk memudahkan para wali
menyebarkan agama Islam
Dampak Budaya
Pertama-tama
dampak yang paling terlihat dari adanya gamelan Sekaten adalah agar menunjukkan
jati diri sebagai seorang wali yang berkewajiban dalam menyiarkan agama Islam
di Jawa. Salah satu contohnya adalah Sunan Kalijaga yang berusaha dengan
membekali dirinya pengetahuan tentang kebudayaan dan segala seluk beluk
kehidupan masyarakat, termasuk bahasa, adat istiadat, kesusastraan, seni, dan
pandangan hidup masyarakat setempat. Hingga tidak mengherankan jika para wali
berhasil menjadi penyebar Islam karena mereka mengenal dengan baik, bukan hanya
ilmu-ilmu agama tetapi juga kebudayaan Jawa
Yang
kedua adalah adanya pertemuan antara kebudayaan masyarakat Jawa pada saat itu
serta ajaran. Islam yang dibawa wali pada akhirnya tidak merugikan salah satu
pihak, artinya antara Islam dan kebudayaan masyarakat Jawa dapat berdampingan,
asas utama ajaran Islam yaitu tauhid tidak dikorbankan dan. kebudayaan Jawa
dapat dijaga kelestariannya. Pertemuan antara Islam dan kebudayaan Jawa. dapat
dikatakan merupakan pertemuan dua kutub yang sebenarnya berlawanan. Akan tetapi
perbedaan itu disikapi para wali dengan tindakan hermeneutik yang kreatif.
Dengan tindakan tadi bisa dipastikan langkah yang diambil adalah yang paling
tepat untuk menghasilkan budaya baru yang merupakan titik singgung antara Islam
dan kebudayaan Jawa. Supadjar menyatakan bahwa titik singgung itu adalah
pandangan bahwa budaya Jawa tidak membiarkan kebenaran agama Islam sebagai sri
gunung, yaitu bagus jika dipandang dari jauh, upacara-upacara tradisi Jawa
mengandung ajaran yang bermaksud mempersiapkan manusia Jawa mendekati kebenaran
Islam menjadi sri taman
Titik
singgung itu jika kita lihat pada gamelan Sekaten terlihat pada
gendhing-gendhing yang dimainkan dalam perayaan Sekaten serta. Wujud fisik
gamelan Sekaten. Aktivitas utama perayaan Sekaten di Surakarta yang
diselenggarakan selama tujuh hari untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad
SAW merupakan pendekatan kebenaran syahadat kepada masyarakat. Sekaten berasal
dari kata syahadatain yang berarti dua kalimat syahadat, secara simbolik dua
kalimat syahadat ini direpresentasikan dalam dua perangkat gamelan Sekaten
Kanjeng Kyai Guntur Sari dan Kanjeng Kyai Guntur Madu yang ditabuh secara
bergantian. Penempatan dua perangkat gamelan pada dua tempat yang berbeda yaitu
Bangsal Pradangga Kidul dan Bangsal Pradangga Lor di halaman Masjid Agung juga merupakan
representasi dua kalimat syahadat yaitu syahadat tauhid dan syahadat rasul
Warna
Islam juga nampak pada salah satu bagian dari rangkaian gendhing Sekaten yaitu racikan. Anatomi gendhing sekaten secara lengkap
terdiri atas racikan, umpak, gendhing (lagu pokok), dan suwukan. Racikan
merupakan sebuah komposisi musikal yang merupakan
pengenalan dari setiap gendhing sekaten, yang diekspresikan oleh pengrawit
(musisi) melalui instrumen bonang dengan menyajikan serangkaian melodi, selalu disertai
dengan bunyi serempak instrument-instrumen lain dengan nada yang sama. Umpak merupakan
potongan melodi yang digunakan sebagai jembatan dari racikan menuju lagu pokok,
sedangkan suwukan adalah melodi pendek yang khusus dibunyikan jika gendhing
akan berhenti.
Racikan
dimaknai sebagai simbolisasi ajaran atas doa yang dibacakan oleh seorang imam. Sedangkan bunyi serempak dari instrumen lain
di setiap akhir melodi dipahami sebagai seruan amin dari makmum yang mengikutinya.
Hal ini merupakan interjeksi musikal yang berpengharapan agar hubungan imam dan
makmum merupakan perpaduan serasi sebagaimana halnya melodi bonang dan suara serempak
instrumen lainnya (Sunarto, B, 2005).
Perayaan
Sekaten selama tujuh hari di Bangsal Pradangga
Masjid Agung Surakarta selalu membunyikan dua gendhing wajib pada awal penyaj
ian, dua gendhing itu adalah Ladrang
Rambu dan Ladrang Rangkung. Rambu ditafsirkan berasal dari kata Arab Robbunu
yang berarti Allah Tuhanku dan Rangkung ditafsirkan juga berasal dari kata Arab
Rokhun yang berarti jiwa besar atau jiwa yang agung. Dua gendhing itu harus
selalu dibunyikan baik oleh gamelan Kanjeng Kyai Guntur Madu di bangsal selatan
maupun Kanjeng Kyai Guntur Sari di bangsal utara.
Penempatan
dan gendhing yang berpasangan dalam penyajiannya merupakan aplikasi konsep budaya
Jawa yaitu keseimbangan hidup.
Keseimbangan bagi orang Jawa dipandang merupakan hal yang sangat penting
karena berkaitan erat dengan citra nilai-nilai etika dan estetika budaya. Dari pernyataan itu semakin jelas bahwa budaya
baru hasil percampuran antara kebudayaan Hindu-Jawa dan Islam menghasilkan
ekspresi budaya baru yang lain dengan kebudayaan sebelumnya, akan tetapi kebudayaan
yang lama tidak hilang begitu saja.
Kesimpulan
Banyak orang di Jawa percaya pada agama Hindu dan Budha. Tetapi beberapa orang, yang disebut Wali Songo, ingin menyebarkan Islam di wilayah terebut. Mereka bekerja sangat keras untuk mengajar orang-orang tentang Islam terutama di Surakarta, dan salah satu orang yang berhasil menyebarkan islam bernama Sunan Kalijaga, ia menggunakan hal-hal budaya seperti kebudayaan untuk membantu orang memahami. Salah satu jenis kebudayaan yang menjadi penting adalah gamelan Sekaten. Gamelan ini sangat istimewa karena milik raja dan digunakan dalam upacara-upacara penting. Wali Songo menggunakan gamelan ini untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa Islam dan budaya Jawa dapat hidup berdampingan dengan damai. Mereka ingin memastikan bahwa masyarakat tetap dapat melestarikan budaya mereka sambil belajar tentang Islam.
Referensi
Sunarto,B . (2005). Panggung Jurnal Seni STSI Bandung
Nomor XXXVI Th 2005: Budaya Musik Karaton Surakarta Dalam Perspektif Sejarah.
Bandung: STSI Press.
Baidhawy, Z. (2003). Agama dan. Dalam Hadi, Islam dan
Dialog Kebudayaan: (hal. 112). Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Daryanto, J. (2014). GAMELAN SEKATEN DAN PENYEBARAN ISLAM
DI JAWA. Jurnal IKADBUDI Vol 4, No 10, 32-40.
Pradjapangrawit. (1990). Serat Sujarah Utawi Riwayating
Gamelan: Wedhapradangga (Serat Saking Gotek). Surakarta: STSI Press.
Sumarsam. (2002). Hayatan Gamelan: Kedalaman Lagu, Teori
dan Prespektif. Surakarta: STSI Press.
Supadjar, D. (2001). Nawang
Sari. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
Posting Komentar