Ditulis oleh: Rilva Deni Yogatama (Mahasiswa Pendidikan Sejarah Angkatan 2019)
Susah
Dunia ini dulu dipenuhi dengan batu yang dibentuk sedemikian rupa untuk membantu pekerjaan manusia, bahkan teknologi primitif tersebut mampu mempertahankan kesejahteraan mereka, tapi karena manusia yang pada dasarnya tidak mau susah maka diciptakan berbagai teknologi baru yang hingga saat ini terus dikembangkan, termasuk mobil mewah yang menjadi alat transportasi, alat yang membuat kita tidak perlu menyusahkan diri untuk jalan kaki dan memarkan kesejahteraan itu sendiri. Kesejahteraan memang bisa dilihat dari banyak hal, namun kali ini bagaimana jika kita melihat kesejahteraan bangsa kita lewat perkembangannya dalam sejarah dan mencapai titik akhir dimana kita tidak hidup susah.
Dilihat dari sudut pandang militer, negara kita memang sulit untuk dikatakan sebagai negara sejahtera. Sebagai contoh, di masa revolusi fisik Indonesia tidak memiliki kekuatan militer yang mumpuni padahal saat-saat tersebut adalah momen krusial dimana negara kita harus mempertahankan kemerdekaannya. Slogan “negara kita berjuang dengan bambu runcing” mungkin tidak tepat karena banyak personel militer dan gerilyawan milisi Indonesia saat itu telah mempersenjatai diri dengan berbagai jenis senjata api milik mantan penjajahnya, namun tidak dapat dipungkiri bahwa negara kita saat itu juga belum mempersenjatai diri dengan baik. Jangankan mempersenjatai diri dengan lengkap mulai dari senjata utama, sekunder dan alat- alat pendukungnya, pasukannya saja belum siap. Banyak anggota TKR Laut yang seharusnya memiliki kapal perang justru bertempur di darat, bayangkan saja bagaimana herannya Belanda saat itu ketika melihat pasukan angakatan laut berada di atas gunung. Banyak pula pasukan yang saat itu tidak memiliki senjata api terpaksa membawa bambu runcing dan senjata tajam, bahkan membeli senjata dari pihak musuh, anggota Akademi Militer Tangerang kala itu juga melakukan improvisasi sebagaimana yang dikatakan Marzoeki Soelaiman menggunakan senapan Karbin Mannlicher Carcano yang kuno dari Italia namun diisi berbagai peluru yang tidak cocok, akhirnya peluru-peluru tersebut dibubut agar bisa dipakai, namun hasilnya itu justru menyusahkan mereka karena harus mengisi dan menembak peluru satu persatu.
Bagai mengulang sejarah, kekuatan militer kita saat ini juga masih sangat kurang dari kata aman. Masih banyak anggota tentara reguler yang belum mendapatkan peralatan tempur yang lebih modern dan hanya mengandalkan berbagai persenjataan lama seperti senapan SS1. Belum lagi kurangnya alustista dan mimpi akan sebuah kapal aircraft carier besar yang padahal tidak cocok berkeliling di negara kepulauan, semakin menunjukkan bahwa negara ini masih susah. Urusan militer mungkin urusan kalangan atas, tapi bagaimana dengan kalangan bawah yang masih susah untuk mendapatkan sesuap nasi? Sebagai bangsa yang telah berulang kali dijajah, tentu kita memahami betapa susahnya mencapai kesejahteraan di negara apalagi kalau sudah masalah uang. Sejak dulu negara kita telah dikendalikan oleh bangsa Eropa lewat sistem monopoli perdagangannya yang hingga saat ini masih dapat kita rasakan. Namun orang-orang Eropa yang dulu telah sukses menguasai tanah kita kini digantikan oleh mahkluk berkulit sawo matang yang mengakui dirinya adalah oligarki baru dibawah bendera warna-warninya. Uang yang pernah mengguncang pemerintahan orde baru ketika krisis 1997 hingga memaksa mundurnya sang jendral, bisa saja terulang kembali jika rakyat terus hidup susah. Saat ini rakyat yang tersiksa akibat berbagai kebijakan pemerintah seperti PPKM dan berbagai kesenjangan ekonomi yang sebenarnya juga telah dialami sejak awal masa reformasi juga dirasakan oleh para pejabat, terbukti dengan ajakan pemerintah lewat “Ayo Wisata Jangan Takut Corona” demi menguatkan ekonomi negara.
Jauh sebelum masa-masa susah seperti ini, Banten yang memiliki banyak potensi ekonomi dilihat dari kekuatan industri seperti Krakatau Steel serta berbagai perusahaan asing yang berdiri di Tangerang dan Serang, nyatanya tidak mencerminkan kesejahteraan masyarakatnya. Banyak sekali wajah-wajah dari anggota keluarga Atut yang tersenyum lebar di baliho-baliho di pinggir Serang seolah-olah dapat memberikan harapan namun nyatanya bagi banyak orang di Serang, meskipun mereka tinggal hanya sejauh 10 km dari Alun-alun Kota Serang, mereka sama sekali tidak dapat mengharapkan apapun dari keluarga Atut. Salah satu warga bernama Ulyati yang anaknya terkena polio sama sekali tidak mendapatkan bantuan kesehatan dari pemerintah daerah meskipun kartu jaminan kesehatan masyarakat yang terdaftar telah mencapai jumlah 807.511. Tidak jauh dari kediaman Ulyati, keluarga Asep kehilangan nyawa anaknya karena tidak memiliki uang untuk mengobati anaknya. Bahkan Banten pernah tercatat menjadi provinsi nomor 3 dengan masalah gizi buruk terparah. Jadi apakah Banten ini adalah provinsi yang susah? Ataukah mantan gubernur kita ini adalah orang susah sehingga perlu menumpuk harta sebanyak mungkin lewat aset-aset gelapnya bersama keluarga demi menutupi ketidaksejahteraannya? Ataukah Ia akan menjadi orang susah hanya karena menyedekahkan sedikit rezekinya yang diperoleh dari hasil korupsi kepada 2 anak tersebut? Mau bertahan hidup saja susah kok bercita-cita jadi kepala daerah.
Belum lagi fenomena orang silver yang sempat marak menunjukkan bahwa seni tergeser oleh uang, seni statue dimana seorang street entertainer yang seharusnya serius ketika berpose sebagai wujud estetika justru mementingkan jumlah uang yang didapatkan, banyak dari mereka yang justru berkeliling dan jelas mengeluarkan suara untuk meminta sedikit uang. Jangankan seni, hal yang jauh lebih penting seperti pendidikan juga tidak luput dari komersialisasi. Uang masih menguasai pendidikan dalam usaha mencapai kesejahteraan. Ketika dulu banyak rakyat yang tidak dapat merasakan pendidikan di zaman kolonial akibat diskriminasi terhadap etnis pribumi yang berasal dari golongan bawah, kini hal tersebut dirasakan kembali oleh anak-anak yang berasal dari keluarga yang kurang mampu dan diperparah dengan sistem pendidikan yang mengalami keterpurukan. Tanpa disadari pendidikan di Indonesia telah gagal dalam usaha mengajarkan sistem dan hanya sekedar kebut materi. Hal ini lambat laun menyebabkan lembaga bimbingan belajar semakin menjamur demi memberikan akomodasi bahkan garansi keberhasilan peserta didik dalam belajar lewat iming-iming keberhasilan pendahulunya yang telah masuk sekolah dan PTN favorit. Bahkan hal ini sangat dirasakan ketika hampir seluruh peserta didik mengalami penurunan motivasi belajar selama pandemi yang tentunya menjadi akibat dari kegagalan sistem tersebut. Salah satu solusinya yaitu Ruang Guru akhirnya dipuja- puja sebagai langkah akhir para wali murid ketika menghadapi sulitnya membimbing kegiatan belajar anak hingga iklannya diputar setiap hari di televisi. Bahkan kini pendidikan bukanlah upaya mendapatkan ilmu, melainkan sebuah kewajiban dan upaya bertahan hidup, sebuah bukti kuat bahwa intelektualitas hampur mati di Indonesia. Jadi apakah kita harus mempertahankan sistem yang bobrok ini demi mencerdaskan keidupan bangsa? Apakah kita harus membayar mahal demi bertaruh untuk masa depan kita lewat secarik kertas ijazah yang mulai digantikan pdf? Mau sekolah saja dananya susah kok tambah dibuat susah.
Mau jadi anggota DPR demi memperbaiki keadaan tapi harus punya banyak dana dan menjilat sistem partai yang licik dulu, susah. Mau masuk sekolah hingga kampus favorit dengan kemapuan belajar rendah, uang sogokannya mahal, masih susah. Ingin punya bisnis kecil- kecilan sambil bermimpi jadi CEO PT Mencari Cinta Sejati, malah dipalak preman, susah lagi. Ingin hidup bahagia, lah mau tidur nyenyak saja susah, banyak nyamuk aedes disertai suasana kamar khas Gurun Gobi. Dari dulu sudah susah sekarang kok masih susah, memangnya tidak bosan hidup susah?
إرسال تعليق