Diskriminasi 1: Penampilan

Ditulis oleh: Rilva Deni Yogatama (Mahasiswa Pendidikan Sejarah Angkatan 2019)


Naiknya angka pasien dengan penyakit kolera, cacar dan wabah pes di Hindia Belanda khususnya Pulau Jawa menyebabkan para dokter dari Eropa kewalahan menangani pasien yang jumlahnya terus melonjak. Belum lagi para dokter ini juga memilih-milih pasien karena mereka tidak mau menangani pribumi jawa biasa dengan alasan posisi pribumi yang tidak terlalu penting dan rasa jijik ketika menangani pasien-pasien tersebut. Didasari hal inilah sekolah dokter Jawa atau STOVIA pun lahir sebagai solusi yang ditawarkan oleh pemerintah Hindia Belanda saat itu untuk mencetak lulusan yang siap menangani wabah penyakit kaum pribumi.


Dalam pelaksanaannya, pemerintah Belanda yang pada dasarnya rasis tentu saja akan menerapkan berbagai kebijakan yang sifatnya diskriminatif. Hal ini dapat kita lihat dari peraturan mengenai pakaian yang harus dikenakan oleh siswa STOVIA. Siswa yang berasal dari Sumatera dan Jawa biasa terlebih lagi tidak berada dalam golongan bangsawan dan tidak beragama Nasrani harus mengenakan pakaian adat dari daerah masing-masing. Sementara untuk pakaian siswa yang berasal dari golongan bangsawan atau priyayi dan juga pribumi yang telah memeluk agama Nasrani diperbolehkan untuk mengenakan setelan yang lebih menunjukkan gaya barat.




Pakaian daerah tersebut biasanya adalah baju lurik(pakaian bermotif garis-garis khas Jawa), jarik(kain batik) dan blangkon. Untuk setelan jas, biasanya adalah kombinasi jas dan celana panjang dengan dasi panjang bermotif, kadang terlihat pula kombinasi antara jarik dan jas juga blangkon yang terkesan nyentrik. Meskipun begitu, STOVIA juga memiliki seragam standar yaitu jas tutup untuk mantri serba putih dan topi pith.


Peraturan ini diberlakukan dengan tujuan agar kaum pribumi yang bersekolah di STOVIA terlihat mengkotak-kotakkan budaya dan tidak terjadi persatuan antar siswa demi mencegah timbulnya pemikiran nasionalisme. Diskriminasi dalam peraturan berpakaian seperti ini sempat ditentang oleh Cipto Mangunkusumo, baginya ini adalah bentuk feodalisme dan kolonialisme Eropa. Dalam sebuah kesempatan, pahlawan nasional yang kerap kali tampil dengan pakaian serba hitam khas petani Jawa ini geram atas diskriminasi Belanda dan mengucapkan “Aku adalah anak rakyat, anak si kronis”.


Hal yang sama juga dialami oleh murid STOVIA lain seperti Abdoel Moeis, tokoh besar SI ini beranggapan bahwa kaum muslim lebih mudah bersatu karena saat itu memiliki sebuah kesamaan nasib dimana mereka bertelanjang kaki karena hanya orang keturunan Eropa dan orang Nasrani saja yang boleh menggunakan sepatu sebagai mana yang ditulis Ismed Natsir dalam Abdoel Moeis: Politik dan Santera untuk Indonesia di Prisma edisi ke 4 (XVII) tahun 1988. Inilah bentuk sederhana dari politik orang-orang Belanda yang melakukan memecah belah persatuan kaum pribumi. Tidak hanya pendidikan, berbagai bidang kehidupan lain pun turut terkena imbas pemikiran kolonial ini yang dapat kita temukan lewat sebuah artikel karya Kees van Dijk di Kaoem Moeda edisi 25 September 1917 yang berjudul Sarung, Jubah, dan Celana: Penampilan sebagai Sarana Pembedaan dan Diskriminasi.


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama