Sebuah perang sipil antara kelompok Muslim dan Nasrani
di Lebanon antara tahun 1975-1990 menjadi sebuah pesta darah dimana salah satu
pihak pernah tercatat melakukan pembantaian terhadap warga sipil yang merenggut
ribuan nyawa dalam kurun waktu yang relatif singkat. Lebanon sendiri dikenal
sebagai Parisnya wilayah Timur Tengah karena daerahnya yang dihiasi
gedung-gedung tinggi nan indah serta gaya hidup modern warganya yang bisa
dibilang cukup moderat dibandingkan dengan negara di Timur Tengah lainnya. Keberagaman
antar kelompok beragama disana menjadi faktor utama kekerasan dalam bidang
politik maupun militer sehingga memunculkan berbagai kelompok milisi bersenjata
yang ekstrim.
Salah satu kelompok tersebut adalah Partai Phalange
yang beragama Nasrani dan hari ini dikenal sebagai pelaku utama pembantaian di
Sabra Shatila. Dalam A History of the Israeli-Palestinian Conflict karya Mark
A. Tessler, Phalange adalah kelompok yang didedikasikan untuk perjuangan
keluarga Bashir Gemayel, pemimpin pihak Phalange yang digadang-gadang akan
menjadi Presiden Lebanon kala itu. Salah
satu peristiwa yang akan selalu diingat dunia ketika perang ini berlangsung
ialah pembantaian yang dilakukan pasukan Phalangis dimana pembantaian ini
merenggut nyawa para pengungsi Palestina hingga menyentuh angka ribuan orang
dalam waktu singkat. Dalam How Israel was Won: A Concise History of the
Arab-Israeli Conflict karya Baylis Thomas, peristiwa yang terjadi pada 16
September 1982 ini bertujuan untuk mencari anggota PLO atau Pasukan Pembebasan
Palestina, hal ini dikarenakan klaim Ariel Sharon(Menteri Pertahanan Israel)
menganggap masih adanya 2000 anggota PLO berkeliaran di Lebanon dan Menachem
Begin(PM Israel) memaksakan perjanjian damai pada Gemayel(pemimpin Phalangis)
agar bisa melakukan infiltrasi wilayah setelah penyerbuan yang Ia lakukan untuk
memburu anggota PLO. Karena Gemayel menolak demi memastikan jadwal pemilunya
aman dan sudah memiliki aliansinya sendiri di Suriah, menyebabkan kubu Israel
geram dan kemungkinan merancang plot pembunuhan untuk dirinya.
Ketika pembantaian ini terjadi, terlihat banyak sekali
pernak-pernik yang menjadi tanda bahkan aksesori yang dikenakan oleh pasukan
Phalangis yaitu pernak-pernik bertemakan Bashir Gemayel. Bashir Gemayel sendiri
adalah seorang pemimpin Phalangis yang direncanakan menjadi presiden pada
periode tersebut berdasarkan pemilihan oleh Dewan Nasional yang sah, namun
karena suatu insiden dimana Ia terbunuh tanpa diketahui siapa pelakunya
menyebabkan terulangnya kembali insiden pembantaian pengungsi Palestina di
Lebanon dengan jumlah yang jauh lebih besar. Pasukan Phalangis yang didukung
kekuatan Israel(dalam hal ini militer Israel tidak melakukan intervensi, mereka
hanya berusaha untuk tidak menghalangi jalannya pembantaian) melancarkan
aksinya ke Sabra-Shatilla, sebuah pemukiman untuk pengungsi Palestina yang
sangat ramai. Kelompok Phalangis ini sendiri terlihat mencolok dengan topeng
wajah berbahan kain, menggunakan pakaian Tentara Nasional Lebanon dan
menggunakan berbagai hiasan senapan yang menunjukkan identitas sebagai Nasrani.
Beberapa jurnalis seperti Ehud Ya’ari, Ryuchi Hirokawa dan beberapa jurnalis
Amerika Serikat yang menyusuri lokasi pasca pembantaian dibuat merinding dengan
temuan mayat-mayat mengenaskan mulai dari granat yang dikalungkan, bayi yang
diinjak dengan sepatu, mutilasi, pembantaian seisi keluarga, tumpukan 10 mayat
sekaligus, bahkan mayat anak-anak yang ditimpa reruntuhan bangunan.
Posting Komentar