Istana Surosowan Hancur Melebur Akibat Ulah Si Tangan Besi

Di buat oleh : Fransisca Hanitianingrum (Mahasiswa Pendidikan Sejarah Angkatan 2021)



Ketika kita mendengar tentang julukan “si tangan besi” pastinya langsung teringat akan sikap kejamnya Herman Willem Daendels. Daendels mengisi jabatan Gubernur Hindia Belanda ke-36 atas perintah dari Louis Napoleon, dengan tugas utamanya, mempertahankan Pulau Jawa dari serangan pasukan Inggris. Selain itu, Daendels juga harus memperkuat pertahanan, memperbaiki administrasi pemerintahan, dan memperbaiki kehidupan sosial ekonomi di Nusantara, khususnya Jawa. Selama memerintah di Indonesia, Daendels sangatlah kejam, tidak berperikemanusiaan, dan selalu menindas rakyat demi keuntungan pemerintah Kolonial Belanda dan pribadinya.


Hubungan Daendels dan Banten

Hubungan antara Daendels dan Sultan Banten (Sultan Safiuddin) dimulai dari rencana pembangunan De Grote Postweg, jalan raya Anyer - Panarukan serta pelabuhan perang (militer) di Selat Sunda, Ujung Kulon.


Mega proyek tersebut direncanakan dapat memotong jalur perjalanan dari Anyer ke Panarukan yang sebelumnya memakan waktu lebih dari satu bulan menjadi delapan hari. Ribuan pekerja telah dikerahkan untuk membuat jalan dan pelabuhan tersebut. Untuk melanjutkan proyek, Daendels mendesak kepada Sultan Banten untuk menyediakan pekerja baru. Sultan Banten menolak permintaan tersebut karena pertimbangan kemanusiaan. Sebelumnya, Kesultanan Banten telah mengerahkan 1.500 pekerja untuk proyek dan hampir semua meninggal dunia karena wabah malaria di rawa-rawa (Eijkman & Stapel, 1924).


Daendels tidak bisa menerima alasan tersebut, kemudian mengirim utusan bernama Komandan Du Puy untuk mendesak Sultan Banten agar segera memenuhi lima tuntutan sebelum 15 November 1808. Kelima tuntutan tersebut sebagai berikut:

1.      Mengirim pejabat setingkat gubernur ke Batavia menghadap Daendels.

2.      Mengirimkan 1.000 orang per hari untuk pekerjaan pembangunan.

3.      Sultan merobohkan keratonnya dan pindah ke Anyer.

4.      Sedangkan tuntutan keempat dan kelima tidak terlalu penting (Verwey, 1905).


Tiga hari sebelum ultimatum berakhir, Sultan memutuskan untuk menerima persyaratan pertama yaitu mengirim perwakilan setingkat gubernur serta mengusahakan tersedianya pekerja. Namun syarat dibubarkannya keraton ditolak dan tidak mungkin dilaksanakan. Selain itu, makam leluhur Kesultanan Banten berada di Keraton yang tidak mungkin ditinggalkan (Verwey, 1905). Jawaban itu segera direspon oleh Daendels dengan ancaman bahwa Sultan harus memenuhi semua tuntutan dan tidak pengecualian.


Pada tanggal 14 November, Du Puy pergi ke Keraton untuk menyampaikan jawaban, namun ketika Du Puy akan memasuki istana, tidak disambut dengan baik oleh Sultan, melainkan disambut dengan ayunan pedang dan terbunuh beserta tentaranya pada hari tersebut. Sedangkan dalam catatan lain, tertulis tanggal 15 November 1808, Du Puy diserang oleh para pasukan pengawal Sultan yaitu adipati Pangeran Warga Diradja hingga meninggal (Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indië, 1867). Dalam catatan Daendels, disebutkan bahwa yang terbunuh selain Komandan Belanda Du Puy, adalah Letnan Infanteri Rohl, seorang tentara Eropa dan tiga tentara pribumi yang berpihak ke Belanda (Daendels, 1814). Mendengar berita ini Daendels memerintahkan untuk menangkap Sultan Banten dan menghancurkan istananya.


Serangan Daendles

        Dua hari setelah kematian Du Puy, Daendels sendiri yang langsung memimpin pasukan menuju Banten. Perjalanan dari Batavia ke Serang dan Banten ini memakan waktu kurang lebih 20 jam. Banten diserang dengan mengerahkan pasukan infanteri 1.000 orang beserta empat meriam yang diarahkan ke Keraton (Velderhof, 1901). Daendels melaporkan bahwa benteng Kesultanan dikepung selama tiga hari, dan dipertahankan oleh 3.000 pasukan, akhirnya jatuh ke tangan Belanda (Daendels, 1814).

    

    Selanjutnya, Pangerang Warga Diradja, yang dianggap sebagai penggagas dan pelaksana penyerangan Du Puy, dibawa ke hadapan Komisi Militer Belanda (Daendels, 1814). Sementara Sultan Banten ditangkap dan diasingkan ke Ambon. Dimuat dalam Instructie voor den Koning van Bantam. Koleksi Arsip Nasional RI Bundel Banten nomor 94/142, Kesultanan Banten mulai berada di bawah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda semenjak Sultan Banten menandatangani perjanjian dengan Belanda yang dilakukan oleh Sultan Safiuddin pada tanggal 28 November 1808. Setelah penandatangan, istana Sorosowan dihancurkan belanda.

         

         Daendels kemudian menunjuk seorang Sultan baru yaitu putra mahkota bernama Pangerang Ratoe Alioedien (P.H. van der Kemp, 1920) atau dalam dokumen lain disebutkan Pangerang Ratoe Mochamad Alie Oedien (Tijdschrift voor Neerland’s ndi jrg 2 1864 (1e deel), no 1 Deel- 1e deel, 1864), yang sebenarnya diposisikan untuk sangat bergantung dan tunduk pada Belanda. Sultan dipaksa untuk tunduk pada perjanjian yang menyatakan bahwa semua keputusan pemerintahan akan berada di bawah komando Pemerintah Belanda tanpa Sultan dapat campur tangan atau memberikan perintah di dalamnya. Dokumen ini tertanggal 27 November 1808 dengan nama arsip Staat der Nederlandsche O. I. bezittingen, onder het bestuur van den Gouverneur Generaal Daendels, in het tweede stuk der bijlagen O. S. No. 4 (P.H. van der Kemp, 1920). Tindakan-tindakan ini menunjukkan Daendels melakukan intervensi dan tindakan sesuka hati terhadap penguasa lokal.


Referensi

Ali, R. M. (2012). Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia. Lkis Pelangi Aksara. Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indië, 1867. (1867).

Arifin, Faizal. (2021). Hegemoni Kolonialisme Terhadap Kekuasaan di Nusantara: Strategi Politik Daendels Meruntuhkan Kesultanan Banten Tahun 1808-1811. Jurnal Agastya.

Daendels, H. W. (1814). Staat der Nederlandsche Oostindische bezittingen onder het bestuur van den gouverneur-generaal Herman Willem Daendels, ... in de jaren 1808-1811.

Eijkman, A. J., & Stapel, F. W. (1924). Leer oek der geschiedenis van Nederlandsch Oost- ndi .

Instructie voor den Koning van Bantam. Koleksi Arsip Nasional RI Bundel Banten nomor 94/142.

Kemp, P.H. van der. (1920). Sumatra in 1818.

Marihandono, D. (2003). Daendels dalam Naskah dan Cerita Rakyat: Cerita tentang Daendels di Pantai Utara Jawa. Seminar Internasional Tradisi Lisan IV, 25.

Velderhof, D. (1901). Over icht van de geschiedenis on er koloni n.

Verwey, A. (1905). De Beweging Algemeen Maandschrift Voor Letteren, Kunst, Wetenschap en Staatkunde, Derde Jaargang Vierde Deel. Uitgeven Door Maas & van Suchtelen.

Tijdschrift voor Neerland’s ndi jrg 2 1864 (1e deel) no 1 Deel- 1e deel. (1864).


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama